Mr. SIGIT GUNAWAN
Laman
Kamis, 23 Juni 2011
filsafat ilmu
filsafat ilmu”
Pendahuluan
Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti.
Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah landasan dan asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Beberapa landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan.
Filsafat sebagai Induk Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari keduanya[1]. Dalam berfilsafat kita didorong untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita tahu.
Filsafat dalam pandangan tokoh-tokoh dunia diartikan sebagai berikut:
* Plato (427 – 348 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli
* Aristoteles (382 – 322 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika
* Al Kindi (801 – ……m), filsafat adalah pengetahuan tentang realisasi segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia
* Al Farabi (870 – 950 m), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya.
* Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya. Di dalam kepribadiannya itu dialami sesungguhnya.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat dapat diartikan sebagai berikut
1. Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan, pemikiran pengetahuan, sifat alam semesta.
2. Prinsip-prinsip umum tentang suatu bidang pengetahuan.
3. Ilmu yang berintikan logika ,estetika, metafisika, dan epistemologi
4. Falsafah
Tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan menerbitkan serta mengatur semua itu dalam bentuk sistematik. Dengan demikian filsafat memerlukan analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan.
Semua ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam bertolak dari pengembangannya yaitu filsafat. Pada awalnya filsafat terdiri dari tiga segi yaitu (1)apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika); (2) mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika); (3)apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).
Kemudian ketiga cabang utama itu berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
1. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
2. Etika (Filsafat Moral)
3. Estetika (Filsafat Seni)
4. Metafisika
5. Politik (Filsafat Pemerintahan)
6. Filsafat Agama
7. Filsafat Ilmu
8. Filsafat Pendidikan
9. Filsafat Hukum
10. Filsafat Sejarah
11. Filsafat Matematika
Ilmu tersebut pada tahap selanjutnya menyatakan diri otonom, bebas dari konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Namun demikian ketika ilmu tersebut mengalami pertentangan-pertentangan maka akan kembali kepada filsafat sebagai induk dari ilmu tersebut.
Pendidikan sebagai Cabang ilmu dari Filsafat
Sebagaimana cabang ilmu lainnya pendidikan merupakan cabang dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni melainkan filsafat khusus atau terapan. Dalam filsafat umum yang menjadi objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, sedangkan filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia.
Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) Filsafat Praktek Pendidikan dan (2) Filsafat Ilmu Pendidikan.
Filsafat Praktek Pendidikan diartikan sebagai analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan. Sedangkan Filsafat Ilmu Pendidikan secara konsepsional diartikan sebagai analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melalui riset baik kuantitatif maupun kualitatif[2] .
Jika dalam Filsafat Praktek Pendidikan biasanya membahas mengenai 3 (tiga) masalah pokok yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya dan (3) dengan cara apa tujuan pendidikan dapat dicapai, maka dalam Filsafat Ilmu Pendidikan membahas mengenai (1) struktur ilmu dan (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan.
Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam yaitu:
1. Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi Ilmu Pendidikan
2. Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material Ilmu Pendidikan
3. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan
4. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan
Kedudukan Filsafat Pendidikan sebagai Cabang Filsafat dapat dilihat pada bagan berikut:
Sumber: Abdullah (2001)
Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan
Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan mendalam, sehingga diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain perumusan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis.
Dalam perkembangan pendidikan menjadi cabang ilmu yang mandiri dipengaruhi oleh pandangan dan konsep yang dikemukan oleh para filosofi..
· Plato (428-348 SM)[3]
Plato merupakan filosofi yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah khusus yang disebut ‘academia’. Plato berpandangan bahwa konsep ide merupakan pandangan terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada. Artinya apa yang diamati sehari-hari adalah ide tersebut, sebagai sumber segala yang ada: kebaikan dan keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang didalamnya berpusat dan dikendalikan oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai tuhan
· Aristoteles (384 – 348 SM)[4]
Aristoteles yang merupakan bapak ilmu berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Pandangan ini berkembang pada abad 13 – 14.
Aristoteles berpandangan bahwa ilmuan hendaknya menarik kesimpulan secara induksi dan deduksi. Dalam tahapan induksi, generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan umum) tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-pernyataan tentang observasi.
Penyempurnaan teori aristoteles dilakukan oleh beberapa filosofi lain yaitu:
§ Robert Grosseteste yang menyebutkan bahwa metode induktif-deduktif Aristoteles sebagai Metode perincian dan penggabungan. Tahap Induksi meruapakan sebuah perincian gejala yang menjadi unsur-unsur pokok dan tahap deduksi sebagai penggabungan unsur-unsur poko yang membentuk gejala asli.
§ Roger Bacon mengusulkan agar matematika dan eksperimen merupakan dua instrumen utama dari penyelidikan ilmiah. Dia mengemukakan ada tiga hak istimewa Ilmu Eksperimental : (1) kesimpulan yang diperoleh melalui penalaran induksi diuji lebih dulu dengan eksperimen; (2) penggunaan eksperimen dalam penyelidikan ilmiah menambah ketelitian dan keluasan pengetahuan faktual; (3) dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan ilmu-ilmu lainnya, eksperimen dapat menyelidiki rahasia alam.
§ John Duns Scotus yang menegaskan sebuah metode induksi dalam bentuk persamaan, yaitu merupakan teknis analisis sejumlah hal khusus yang mempunyai pengaruh khusus terhadap peristiwa.
§ Ockham yang menegaskan metode induksi dalan bentuk perbedaan, bahwa ilmuwan dalam menyusun pengetahuan tentang apa yang diciptakan Tuhan dengan melalui induksi hanya terdapat kesatuan-kesatuan yang bersifat pembawaan di antara gejala-gejala. Metode Ockham membandingkan dua hal khusus dimana yang satu ada pengaruhnya dan satunya lagi tidak ada pengaruhnya.
· Johan Amos Comenius[5]
Filsuf pertama yang memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan adalah Johan Amos Comenius seorang pendeta Protestan. ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan.
Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.
Hal tersebut awal dari pemikiran filsafat pendidikan naturalisme yang lahir pada abad 17 dan mengalami perkembangan pada abad 18.
Dimensi mengenai pemikiran filsafat pendidikan naturalisme adalah sebagai berikut:
§ Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh comenius
§ Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.
§ Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
§ Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke, Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra. Jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan.
Selain tokoh-tokoh barat, filsafat pendidikan dalam pandangan tokoh filosofi islam sebagaimana diuraikan berikut[6]
§ Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M)
Filosofi Islam yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
§ Abduh Ibnu Hasan Khairullah (1849 – ….M)
Filosofi Islam dari Mesir mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang seimbang, pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu menyeleraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan).
§ Muhammad Iqbal (1877 – 1938M)
Filosofi Islam dari India, berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memadukan dualisme (antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang).
§ Ahmad Dahlan (1869 – 1923M)
Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang berpandangan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan agama dan pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Aliran-aliran yang berkembang saat ini sangat dipengaruhi oleh pandangan dan teori-teori yang dikemukan oleh para filosofi-filosofi dunia. Aliran-aliran dalam Filsafat yang berkembang saat ini antara lain:
1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
7. Filsafat Pendidikan Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
Landasan Filsafat Pendidikan Indonesia
Pendidikan Indonesia dipengaruhi beberapa peristiwa:
§ Era Kolonia Belanda[7]
Pendidikan Indonesia pada Era Kolonia Belanda mengalami 3 (tiga) fase perkembangan
1. Masa VOC (1607), pada masa VOC pendidikan yang berkembang di Indonesia yaitu pendidikan yang berlandaskan ketuhanan.dan berpusat di gereja. Tujuan pendidikan saat itu adalah menyebarkan agama protestan dan menghilangkan pengaruh katolik di Indonesia. Tugas guru saat itu adalah untuk memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengajar anak berdoa, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru-guru
2. Masa Liberal (1861-1819), pendidikan pada masa tersebut dipengaruhi ole ide-ide liberal. Terjadi perubahan yang radikal bahwa kepercayaan atas kekuasaan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian empiris. Pendidikan ditujukan kepada pengembangan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional, social dan usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler.
3. Politik Etis: 1900 – 1920, pendidikan pada masa ini ditujukan membangun kemandirian dan emansipasi pendidikan demi kesejateraan rakyat Indonesia. Ciri pendidikan pada masa ini yaitu gradualisme, dualisme, kontrol sental, keterbatasan tujuan, prinsip konkordasi dan tidak ada perencanaan pendidikan yang sistematis.
§ Era Kemerdekaan Indonesia[8]
Pancasila sebagai dasar dan landasan berbagai kehidupan bangsa lahir pada era kemerdekaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebenarnya sudah sejak dulu telah mendasari aspek-aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut tergambar dari kehidupan bernegara pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Pada era kebangkitan bangsa nilai-nilai pancasila telah menggugah kesadaran nasionalime bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Konsep Pancasila sebagai dasar, landasan dan Falsafah dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dicetuskan oleh tokoh-tokoh kebangsaan yaitu:
§ Mr. Muh.Yamin, mengemukakan rancangan dasar Negara, yaitu
1. Peri kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
§ Mr. Soepomo mengemukakan dasar negara Indonesia Merdeka yang dicita-citakan yaitu:
1. Dasar Integralistik, negara kesatuan, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun.
2. Dasar ke-Tuhanan
3. Dasar sosialisme negara, dasar ekonomi kekeluargaan
4. Dasar musyawarah dalam kepemimpinan
§ Ir. Soekarno, mengusulkan dasar filsafat negara Pancasila dengan susunan:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusian
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Pemikiran-pemikiran tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila yang melandasi semua aspek kehidupan banga termasuk Landasan dan Falsafah Pendidikan Indonesia.
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat[9]
Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan dan penelaahan dunia fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan sistematis (teratur, tersusun rapi). Pancasila memberi ajaran tata hidup manusia budaya secara harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan.
Pancasila sebagai sistem filsafat juga mempunyai ajaran-ajaran tentang metafisika dan ontologi Pancasila, aksiologi Pancasila dan logika Pancasila.
§ Ajaran Metafisika dan Ontologi Pancasila
Asas-asas metafisika dan ontologi dalam filsafat Pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut:
§ Asas monoteisme
Merupakan realisasi dari sila I Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa, Bangsa Indonesia hanya mengakui satu tuhan saja ialah Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia menganut asas kemerdekaan untuk memilih dan menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menjunjung toleransi antar pemeluk agama.
§ Asas makrokosmos-mikrokosmos
Asas makrokosmos merupakan pengakuan kepada realita yang ada, ialah alam semesta ini, dunia dengan tata suryanya. Alam semesta raya mempunyai hukum-hukum alamnya dan menjadi sumber daya kehidupan semua makhluk hidup. Manusia sering dipandang sebagai mikrokosmos sebab pada manusia terdapat sifat-sifat atau unsur-unsur seperti yang ada pada makrokosmos.
§ Asas tata ada yang selaras, serasi, seimbang (harmoni)
Bahwa yang ada di dunia merupakan hal yang serba berlawanan namun tetap dapat berlangsung secara selaras.
§ Asas tata hidup manusia budaya (asas kultural/religius)
Cipta, rasa dan karsa manusia secara integratif mampu menciptakan perlengkapan-perlengkapan hidup yang secara keseluruhannya disebut kebudayaan.
§ Asas persatuan dan kesatuan
Hidup budaya manusia membentuk kesatuan-kesatuan secara menyeluruh mulai dari tingkat terbawah yaitu keluarga sampai pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
§ Asas tertib damai, kemerdekaan dan keadilan
Hidup membudaya adalah hidup tertib, teratur dan damai menghindari pertengkaran dan perselisihan
§ Asas bhineka tunggal ika
Asas ini memberi makna bahwa hidup budaya manusia menunjukan variasi-variasi, seperti adanya ras-ras manusia, macam-macam agama dan kebudayaan daerah dan sebagainya.
§ Asas idealisme, realistis dan pragmatis
Hidup bangsa Indonesia tidak tanpa arah, tetapi mempunyai arah yang ideal yakni hidup masyarakat yang adil dan makmur.
§ Epistomologi Pancasila
Ajaran Pancasila dengan teorinya selaras, serasi dan seimbang, mengakui kebenaran pengetahuan rasio dan pengetahuan pengalaman. Baik rasio maupun pengalaman dapat menjadi sumber pengetahuan. Pengetahuan datang dari intuisi dan juga bersumber pada kebenaran agama. Logika yang dikembangkan dalam epistomologi Pancasila adalah logika formal (deduksi), logika induksi, logika ilmiah dan logika intuisi.
§ Aksiologi Pancasila
Prinsip-prinsip ajaran nilai atau aksiologi Pancasila adalah sebagai berikut:
§ Prinsip nilai religius
Prinsip nilai religius bersumber pada Sila I Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Agama menjadi sumber-sumber nilai-nilai kebaikan dan juga kebenaran. Fungsi Pancasila terhadap agama adalah:
1. Pancasila memberi fasilitas kepada hidup subur dan berkembangnya agama
2. Pancasila memberi situasi dan kondisi kerukunan dan kedamaian hidup di antara umat beragama.
§ Prinsip nilai alami
Prinsip nilai alamia artinya alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang berisi kebaikan-kebaikan alamiah yang berupa nilai-nilai hukum alam.
§ Prinsip nilai manusia
Prinsip nilai-nilai manusia yakni bahwa manusia adalah subjek penilai. Dalam mencapai nilai-nilai dalam hidupnya, maka manusia akan melaksanakan nilai-nilai: (1) nilai-nilai kemanusian; (2) nilai-nilai persatuan hidup bersama; (3) nilai-nilai kerakyatan atau demokrasi; (4) nilai-nilai keadilan.
§ Prinsip relativitas dan kemutlakan nilai
Nilai-nilai hidup budaya manusia ada yang bersifat relatif, terbatas oleh kurun waktu dan tempat.
Ajaran Pancasila tentang Pendidikan
Wawasan kependidikan dalam Filsafat Pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan adalah proses pembudayaan manusia, yakni usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian manusia, yang dilakukan baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat dan berlaku seumur hidup. Pendidikan adalah proses regenerasi untuk melangsungkan eksistensi manusia budaya yang lebih maju.
2. Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS). MIS yaitu manusia pembangunan yang berkembang secara integral, selaras, serasi, seimbang antara cipta, rasa, karsa dan karya serta jasmani-rohani yang sehat.
3. Kurikulum pendidikan, melaksanakan kurikulum yang komprehensif, memadukan antara teori dan praktek. Wawasan kurikulum yang dikembangkan adalah: (1) Wawasan budaya bangsa berdasar pada kondisi sosio-budaya masyarakat dan negara Indonesia, (2) Wawasan ideologi dan pandangan hidup Pancasila, (3) Wawasan kemajuan Ilmu dan Teknologi, (4) Wawasan religius dan keimanan, (5) Wawasan Pembangunan Nasional, (6) Wawasan ketahanan bangsa, (7) Proses belajar dan mengajar, mengembangkan proses komunikasi diagonal (interaksi aktif). Mengembangkan Cara Belajar Siswa Aktif.
4. Hakekat proses belajar dan mengajar, (1) dalam proses belajar mengajar terjadi interaktif antara siswa dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru, (2) proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media atau teknologi pendidikan yang tepat guna, (3) kegiatan belajar mengajar direncanakan dan diimplementasikan menjadi suatu sistem, (4) materi dan sistem penyajian bersifat dinamis selalu berkembang
5. Hakekat lembaga pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi adalah (1) lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia, (2) menyelenggarakan program-program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kuantitatif dan kualitatif.
6. Hakekat anak didik adalah bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri selaras dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat
7. Hakekat guru sebagai pendidik adalah agen perubahan, berfungsi sebagai pemimpin dan pendukung serta pengembang nilai-nilai hidup di masyarakat, sebagai fasilitator dan bertanggung jawab atas tujuan belajar.
8. Hakekat masyarakat adalah sebagai lingkungan pendidikan.
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut sejalan dengan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut jelaslah bahwa pancasila adalah Landasan Filosofi Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Sedangkan Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.[10]
Pokok-pokok fikiran Pendidikan Nasional adalah:
1. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan disebut sistem Pendidikan Pancasila
2. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan
3. Fungsi pendidikan nasional Indonesia adalah untuk mengembangkan warga negara Indonesia, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, mengembangkan bangsa Indonesia dan mengembangkan kebudayaan Indonesia
4. Unsur-unsur pokok pendidikan nasional adalah pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan kepribadian, pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan kesenian, pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kesadaran bersejarah.
5. Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas tanggung jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan cabang dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni melainkan filsafat khusus atau terapan.
Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
(1) Filsafat Praktek Pendidikan dan
(2) Filsafat Ilmu Pendidikan.
Filsafat Praktek Pendidikan biasanya membahas mengenai 3 (tiga) masalah pokok yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya dan (3) dengan cara apa tujuan pendidikan dapat dicapai
Filsafat Ilmu Pendidikan membahas mengenai :
(1) struktur ilmu dan
(2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan.
Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam yaitu:
1. Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi Ilmu Pendidikan
2. Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material Ilmu Pendidikan
3. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan
4. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan
Filsafat Pancasila yang muncul pada masa kemerdekaan tahun 1945 dicetuskan oleh tokoh-tokoh perjuangan bangsa. Sebagai sebuah filsafat pendidikan, Pancasila mengandung pemahaman nilai mengenai metafisika dan ontologi, epistomologi dan aksiologi sebagai mana yang terkandung dalam filsafat pendidikan. Kedudukan Pancasila sebagai filsafat Pendidikan Indonesia diperkuat dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989.
Daftar Pustaka
Abdullah, Ishak. 2001. ” Filsafat Ilmu Pendidikan”. PT.Remaja Rosdakarya Bandung.
Fudyatanta, Ki. 2006. “Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila”. Amus Yogyakarta
Hasan, M.Iqbal. 2002. “Pokok-Pokok Pendidikan Pancasila”. PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Hasan Bakti. 2001 . “Filsafat Umum”. Gaya Media Pratama.
Nasution, S. 2008. “Sejarah Pendidikan Indonesia”. Bumi Aksara
Heryanto, Nunu. 2002, Bahan Kuliah pad IKIP Makasar,
Suharto, Toto. 2006. “Filsafat Pendidikan Islam”. Ar-ruzz
Suriasumantri, Jujun S. 2003 . “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer” Pustaka Sinar Harapan
www.education.feedfury.com didown load pada tanggal 13 September 2008
http://re-searchengines.com/0308hakiki.html didown load pada tanggal 13 September 2008
[1] Jujun S Suriasumantri, “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer” Pustaka Sinar Harapan, 2003
[2] Ishak Abdullah. ” Filsafat Ilmu Pendidikan”. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. 2001
[3] Hasan Bakti Nasution.”Filsafat Umum”. Gaya Media Pratama. 2001
[4] Ishak Abdullah. ” Filsafat Ilmu Pendidikan”. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. 2001
[5] http://re-searchengines.com/0308hakiki.html di down load pada tanggal 13 September 2008
[6] Toto Suharto. “Filsafat Pendidikan Islam”. Ar-Ruzz. 2006
[7] Nasution, S. “Sejarah Pendidikan Indonesia”. Bumi Aksara. 2008
[8] M.Iqbal Hasan. “Pokok-Pokok Materi Pendidikan Pancasila”. PT. Raja Grafindo Persada. 2002
[9] Fudyatanta, Ki. 2006. “Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila”. Amus Yogyakarta
[10] Nunu Heryanto, 2002. “Materi Kuliah pada IKIP Makasar”
Rabu, 01 Juni 2011
Diksi (Pilihan Kata)
Diksi (Pilihan Kata)
Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara.[rujukan?] Arti kedua, arti "diksi" yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.
Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran - kata formal atau informal dalam konteks sosial - adalah yang utama. Analisis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif. Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan sintaks.
Diksi terdiri dari delapan elemen :
Fonem
Fonem sebuah istilah linguistik dan merupakan satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna. Fonem berbentuk bunyi.
Misalkan dalam bahasa Indonesia bunyi [k] dan [g] merupakan dua fonem yang berbeda, misalkan dalam kata "cagar" dan "cakar". Tetapi dalam bahasa Arab hal ini tidaklah begitu. Dalam bahasa Arab hanya ada fonem /k/.
Sebaliknya dalam bahasa Indonesia bunyi [f], [v] dan [p] pada dasarnya bukanlah tiga fonem yang berbeda. Kata provinsi apabila dilafazkan sebagai [propinsi], [profinsi] atau [provinsi] tetap sama saja.
Silabel
Suku kata atau silabel (bahasa Yunani: συλλαβή sullabē) adalah unit pembentuk kata yang tersusun dari satu fonem atau urutan fonem. Sebagai contoh, kata wiki terdiri dari dua suku kata: wi dan ki. Silabel sering dianggap sebagai unit pembangun fonologis kata karena dapat mempengaruhi ritme dan artikulasi suatu kata.
Konjungsi
Konjungsi kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, serta kalimat dengan kalimat. Contoh: dan, atau, serta. Preposisi dan konjungsi adalah dua kelas yang memiliki anggota yang dapat beririsan. Contoh irisannya adalah karena, sesudah, sejak, sebelum.
Nomina
Nomina atau kata benda adalah kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Kata benda dapat dibagi menjadi dua: kata benda konkret untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indera (misalnya buku), serta kata benda abstrak untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan pikiran (misalnya cinta).
Selain itu, jenis kata ini juga dapat dikelompokkan menjadi kata benda khusus atau nama diri (proper noun) dan kata benda umum atau nama jenis (common noun). Kata benda nama diri adalah kata benda yang mewakili suatu entitas tertentu (misalnya Jakarta atau Ali), sedangkan kata benda umum adalah sebaliknya, menjelaskan suatu kelas entitas (misalnya kota atau orang).
Verba
Verba (bahasa Latin: verbum, "kata") atau kata kerja adalah kelas kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Jenis kata ini biasanya menjadi predikat dalam suatu frasa atau kalimat. Berdasarkan objeknya, kata kerja dapat dibagi menjadi dua: kata kerja transitif yang membutuhkan pelengkap atau objek seperti memukul (bola), serta kata kerja intransitif yang tidak membutuhkan pelengkap seperti lari.
Infleksi
Adalah proses penambahan morpheme infleksional kedalam sebuah kata yang mengandung indikasi gramatikal seperti jumlah, orang, gender, tenses, atau aspek.
Hubungan
Uterans
Fungsi dan yang mempengaruhi Diksi :
Hal-hal yang mempengaruhi diksi berdasar kemampuan pengguna bahasa :
• Serangkaian kalimat harus jelas dan efektif sehingga sesuai dengan gagasan utama.
• Cara dari mengimplementasikan sesuatu kedalam sebuah situasi .
• Sejumlah kosakata yang didengar oleh masyarakat harus benar-benar dikuasai.
Fungsi dari diksi :
• Untuk mencegah kesalah pahaman.
• Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.
• Untuk Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal.
• Supaya suasana yang tepat bisa tercipta.
• Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
PENGGUNAAN GAYA BAHASA (MAJAS) DALAM LIRIK LAGU GRUP BAND PADI
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENGGUNAAN GAYA BAHASA (MAJAS)
DALAM LIRIK LAGU GRUP BAND PADI
Disusun Oleh:
SIGIT GUNAWAN, S.Pd.
SMP NEGERI 2 MODO-LAMONGAN
TAHUN 2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmad dan hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyusun dan meyelesaikan laporan hasil penelitian Bahasa Indonesia dengan Judul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi”.
Pada kesempatan ini, sebelumnya penulis ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua yang telah membantu terciptanya Laporan hasil Penelitian Bahasa Indonesia dengan Judul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan laporan hasil penelitian Bahasa Indonesia dengan Judul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak atau pembaca yang kami harapkan, demi kebaikan dalam penyusunan karya tulis ini.
Semoga laporan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk menambah dan mengetahui khasanah ilmu pengetahuan.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Sumberrejo, 10 Pebruari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………
1.3 Tujuan………………………………………………………………………….
1
2
2
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Grup Band Padi………………………………………………………………….
2.2 Album-album Padi………………………………………………………………
2.3 Pengertian Gaya Bahasa……….……………………………………………
2.4 Macam-macam Gaya Bahasa……………………………………………...
2.4.1 Gaya Bahasa Perulangan/Repetisi………..……………………….
2.4.2 Gaya Bahasa Pertentangan………………………………………….
2.4.3 Gaya Bahasa Pertautan..…………………………………………….
2.4.4 Gaya Bahasa Perbandingan…………………………………………
3
5
5
6
6
6
6
7
BAB III PEMBAHASAN
4.1 Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lagu “Mahadewi”…………..
4.2 Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lagu “Kasih tak Sampai”…..
8
9
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..
4.2 Saran………………………………………………………………………….
11
13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 14
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dengan suatu irama atau nada. Irama dan nada yang dipadukan disebut juga dengan musik. Dalam lagu-lagu yang kita dengarkan cara penyampaian pikiran dan perasaan akan menimbulkan berbagai gaya bahasa. Gaya bahasa menghidupkan atau memberi roh pada kalimat dalam lagu-lagu tersebut. Gaya bahasa juga akan menimbulkan reaksi berupa rasa sedih atau gembira pada penikmat musik.
Ada dari lirik lagu yang menggunakan gaya bahasa repetisi, yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang, menggunakan gaya bahasa metafora, yaitu menggungkapkan hal dengan bahasa kias seperti perbandingan, gaya bahasa perumpanaan, yaitu suatu perbandingan yang tediri dari dua hal yang berlainan, tetapi dinyatakan sama. Gaya bahasa personifikasi, yaitu suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa, dan banyak lagi gaya bahasa yang digunakan oleh pencipta lagu.
Pada kesempatan ini, lagu-lagu dari grup band “Padi” kita kupas untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa atau majas. Adapun lagu-lagu yang akan kita cari berjudul Mahadewi dan Kasih tak Sampai, Judul makalah ini adalah “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam laporan hasil penelitian yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” adalah antara lain:
(1) gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Mahadewi” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
(2) gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Kasih Tak Sampai” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan laporan hasil penelitian yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” adalah antara lain:
(1) mengentahui gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Mahadewi” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
(2) mengentahui gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Kasih Tak Sampai” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari laporan hasil penelitian yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” adalah antara lain:
(1) untuk mengetahui dengan jelas gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Mahadewi” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
(2) untuk mengetahui dengan jelas gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam lirik lagu “Kasih Tak Sampai” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Grup Band Padi
Dibentuk 8 April 1997, grup ini merupakan wadah kreativitas seni lima mahasiswa Universitas Airlangga. Semula bernama 'Soda', namun kemudian diganti menjadi 'Padi' ("Padi makanan orang susah," demikian kata salah seorang personalnya). Nama ini dipilih juga karena bersifat "sangat membumi". Lebih jauh, mereka tidak hanya mengambil filosofinya saja, semakin berisi semakin merunduk, tapi juga melihat fungsinya yang melambangkan kesejahteraan.
Diawali dari bermain musik dari satu panggung ke panggung lain, grup ini akhirnya dikontrak untuk masuk dunia rekaman. Album-album Padi cukup sukses menembus pasar musik Indonesia. Beberapa pengamat menyimpulkan aransemen musik padi yg dinamis dan lebih kompleks dari rata-rata lagu oleh grup band Indonesia yang seangkatan adalah salah satu penyebab kesuksesan tersebut. Pada awal kemunculannya di tahun 1998 khasanah band Indonesia didominasi oleh lagu-lagu dengan aransemen sederhana dengan tempo sedang cenderung lambat.
Ciri lain band-band Indonesia pada masa tersebut adalah cukup dominannya instrumen keyboard pada band-band terkemuka. Karakter Keyboard/Organ mempengaruhi gaya musik menjadi minim distorsi dan cenderung melodik. Hal ini tampak pada band-band pencetak hits saat itu seperti Kahitna, Dewa 19 dengan album Pandawa Lima-nya, maupun Slank sesaat sebelum perombakan formasi di mana Indra Q masih tampil sebagai keyboardist.
Lain Dunia
Padi kemudian mendobrak dengan formasi tanpa keyboard melalui album pertama mereka Lain Dunia (1999). Formasi semacam ini membuat eksplorasi teknik permainan gitar begitu dominan, maka wajar jika lagu-lagu yang dihasilkan cenderung penuh ditorsi. Apalagi ditunjang oleh gaya permainan dua gitarisnya, Satriyo Yudi Wahono (Piyu) dan Ari Tri Sosianto, yang berbeda satu sama lain, Padi mendobrak dengan lagu-lagu kompleks yang ditandai dengan aransemen dua gitar yang hampir selalu berbeda dalam tiap frasa dalam tiap lagu. Album ini mendapatkan platinum pada bulan April 2000 dan quadraple platinum di tahun 2001.
Sesuatu Yang Tertunda
Pada tahun 2001, Padi mengeluarkan album kedua mereka Sesuatu Yang Tertunda. Album ini mampu terjual sebanyak 1,6 juta kopi dan mendapat 10x Platinum di tahun 2002.
Save My Soul
Save My Soul adalah nama album musik ketiga Padi. Album ini diluncurkan pada tanggal 18 Juni 2003. Dalam lagu "Sesuatu Yang Tertunda", Padi berduet dengan musikus pujaan mereka, Iwan Fals. Selain Iwan Fals, kolaborator lainnya yang terdapat dalam album ini termasuk musisi Australia yang merupakan pemain saksofon, Robert Burke dan pianis Kiernan Box, Adjie Rao (perkusi), dan penyanyi Astrid Sartiasari. Nasib album ketiga tersebut, meski tak bisa dibilang gagal, tapi tak segemerlap dua album sebelumnya.[1]
Padi
Setelah 22 bulan masa proses penggarapan, album keempat mereka keluar pada bulan Mei 2005 yang diberi nama kelompok band itu sendiri, Padi. Keseluruhan lagu dalam album terbaru Padi mengajak penggemarnya menikmati lirik-lirik manis tentang jatuh cinta, sikap bijaksana dan keengganan untuk diam menghadapi masalah. Salah satu lagu andalan, "Menanti Sebuah Jawaban", di album keempat Padi pun dijadikan lagu tema sebuah film layar lebar berjudul Ungu Violet. Album inipun dipenuhi oleh para kolaborator yang menyumbang aneka sound pada lagu-lagu Padi. Bubi Chen dengan piano Jazz-nya, Abadi Soesman dengan permainan Hammond yang vintage, Kousik Dutta dengan sentuhan Tabla, Idris Sardi dengan Violin yg dominan di lagu penutup Side B. Seperti pengakuan para personel Padi,bagi mereka album ini adalah cerminan pencerahan dan pengalaman spiritual yang dialami selama proses pembuatan,maka tidak heran lirik dan aransemen bergeser cukup signifikan dari tema-tema dalam dan cenderung "gelap" pada album Save My Soul,menjadi ringan dan penuh semangat.Namun bobot tiap-tiap lagu tampak berusaha tetap dijaga dengan menghadirkan musisi-musisi berpengalaman sebagai kolaborator seperti yang telah disebutkan. [2]
2.2. Album-album padi
Tak Hanya Diam
Setelah lebih dari 2 tahun vakum dari dapur rekaman, Padi menggebrak dengan album baru Tak Hanya Diam. Album yang berisi 10 lagu ini tak lagi bertemakan 'interpersonal' (cinta) seperti 4 album sebelumnya, namun meluas menjadi kepedulian dari reaksi mereka terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Inti pesan dari lirik-lirik di dalam album Tak Hanya Diam terfokus pada soal tidak berfungsinya komunikasi yang berakibat beberapa bencana yang timbul secara beruntun di Indonesia. Seperti tsunami dan gempa bumi. Tak hanya temanya, peluncuran album ini juga cukup unik. Padi meluncurkan album terbaru mereka dengan tampil menyanyi di atas geladak KRI Teluk Mandar 514 yang berlayar perlahan di perairan Teluk Jakarta, Senin 12 November 2007. Peluncuran album di atas kapal ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Walau pada awalnya hanya ingin unik dari launching album secara konvensional, namun Padi kali ini memberikan isyarat kepada kita untuk selalu ingat bahwa negeri ini adalah negeri maritim dengan kekayaan dan keindahan laut yang dimiliki. Selain itu,
Cover album Tak Hanya Diam mewakili tema dari album ini, cover yang berbentuk titik-titik saling berhubungan yang mencerminkan adanya saling sinergi satu sama lain didasari saling komunikasi untuk saling mengisi dalam damai. Di album ini juga terlihat keberanian Rindra (bass) dan Piyu (gitar) tampil sebagai vokalis di lagu "Belum Terlambat" dan "Jangan Datang Malam Ini
2.3 Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa itu merupakan bahasa yang dipakai dalam karangan, sifatnya mewakili perasaan dan pikiran dari penulis atau pengarang yang berbentuk tulisan/lisan.
Dalam menyampaikan perasaan dan pikiran yang tertuang dalam gaya bahasa ini akan lebih terasa/menyentuh hati bila dalam memilih bahasanya itu hati-hati dan harus sesuai dengan maknanya. Karena memakai gaya bahasa yang berlebihan maknanya menjadi tidak jelas dan tidak sesuai.
2.4 Macam Gaya Bahasa
Dilihat dalam bahasa Indonesia, gaya bahasa itu dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya adalah:
1) Gaya bahasa perulangan/repetisi.
2) Gaya bahasa pertentangan.
3) Gaya bahasa pertautan.
4) Gaya bahasa perbandingan.
2.4.1 Gaya Bahasa Perulangan/Repetisi
Gaya bahasa perulangan, yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang.
Contoh: Tuhan, kusebut nama-Mu, Tuhan dalam sedih, dalam perih.
2.4.2 Gaya Bahasa Pertentangan
Dalam gaya bahasa pertentang ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Ironi ialah suatu gaya bahasa yang menyatakan sindiran dan sifatnya sangat halus.
Contoh: Hampir saja anda terlambat.
hambur-hamburkan uangmu agar menjadi jutawan.
2) Hiperbola ialah suatu gaya bahasa yang mengandung arti atau pernyataan yang sifatnya berlebih-lebihan.
contoh: Ketika mendengar pernyataan itu, ia terkejut sampai pingsan.
Ketika mendengar berita itu, mereka terkejut setengah mati.
3) Litotes ialah suatu gaya bahasa yang menyatakan tentang ungkapan/pengungkapan sesuatu yang sifatnya positif dengan sifat negative.
contoh: Jika kamu mau, tidurlah digubuk kecilku.
Bila anda tidak keberatan, mampirlah ke gubuk sesekku.
2.4.3 Gaya Bahasa Pertautan
Dalam gaya bahasa pertautan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Sinekdoke, yaitu majas yang menyebutkan nama sebagian sebagai pengganti keseluruhan.
Contoh: Pihak sekolah terpaksa mengeluarkan anak yang nakal itu.
2) Metonimia, yaitu majas yang berupa pemakaian nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan orang, barang atau hal.
Contoh: Presiden Indonesia yang dimaksud adalah Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
2.4.4 Gaya Bahasa Perbandingan
Dalam gaya bahasa perbandingan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Metafora ialah gaya bahasa perbandingan yang terdiri dari dua hal yang berbeda dan harus tersusun secara rapi, singkat juga padat (perumpamaan langsung, sesuatu yang mempunyai kesamaan kesejajaran.
Contoh: Dewi malam itu tersenyum manja
Raja siang itu baru bangun
2) Perumpamaan ialah suatu perbandingan yang terdiri dari sua hal yang berlainan, tetapi dinyatakan sama.
Contoh: Bagai harimau pulang kelaparan.
Seperti menyulam dikain yang lapuk.
3) Alegori ialah suatu cerita yang digunakan sebagai lambang yang sifatnya mendidik atau menerangkan sesuatu hal.
Contoh: Anjing dengan kucing
4) Personifikasi ialah suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa.
Contoh: Kerbau merintih minta makan.
Burung berlari-lari di angkasa.
5) Antilesis ialah suatu jenis gaya bahasa yang mengandakan perbandingan dengan dua kata yang artinya berlawanan.
contoh: Semua fitnahan temannya dibalas dengan budi bahasa yang baik.
2.5 Hipotesis
Dalam lirik lagu Grup Band “Padi” terdapat banyak gaya bahasa (majas) didalamnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dalam laporan hasil penelitian yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” ini adalah bulan September-Oktober 2010 dan tempat penelitian laporan hasil penelitian adalah di Laboratoriun Bahasa dan Sastra Indonesia SMP Negeri 2 Modo.
3.2 Metode dan Rancangan Penelitian
BAB IV PEMBAHASAN
3.1 Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lagu “Mahadewi”
MAHADEWI
Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar teriuntai turun menyapa aku
Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan
Bila sinarnya sentuh wajahku, kepedihanku terhapuskan
Alam raya pun semua tersenyum, menunduk dan memuja hadirnya
Terpukau aku menatapnya, aku merasa mengenal dia,
tapi ada entah di mana, hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya, pencarianku usai sudah
Mahadewi resapkan nilainya, Mahadewi tercipta untukku
3.1.1 Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan, yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang.
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
1) Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan.
2) Mahadewi resapkan nilainya, Mahadewi tercipta untukku
3.1.2 Gaya Bahasa Pertentangan
Hiperbola ialah suatu gaya bahasa yang mengandung arti atau pernyataan yang sifatnya berlebih-lebihan.
Gaya bahasa hiperbola dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
1) Alam raya pun semua tersenyum, menunduk dam memuja hadirnya.
2) Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa
3.1.3 Gaya Bahasa Pertautan
Metonimia, yaitu majas yang berupa pemakaian nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan orang, barang atau hal.
Gaya bahasa metonimia dalam lagu “Mahadewi” adalah:
Mahadewi resapkan nilainya yang dimaksud mahadewi adalah kekasih hati, orang yang dicintai,
3.1.4 Gaya Bahasa Perbandingan
Metafora ialah gaya bahasa perbandingan yang terdiri dari dua hal yang berbeda dan harus tersusun secara rapi, singkat juga padat (perumpamaan langsung, sesuatu yang mempunyai kesamaan kesejajaran.
Gaya bahasa metafora dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
1) Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa
2) Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan
3) Mahadewi resapkan nilainya
Personifikasi ialah suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa.
Gaya bahasa personifikasi dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
1) Bila sinarnya sentuh wajahku, kepedihanku terhapuskan
2) Alam raya pun semua tersenyum
3) Namun satu bintang yang berpijar teriuntai turun menyapa aku
3.2 Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lagu “Kais Tak Sampai”
Kasih Tak Sampai
Indah terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapatmu mungkin terciptakan rasa keinginan saling memiliki
Namun bila itu semua dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang pernah terjadi meredupkan perasaan kita
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua….berdua
Sudah….lambat sudah, ini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik dan kita meski relakan kenyataan ini
3.2.1 Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang.
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
1) Indah terasa indah
2) Sudah….lambat sudah, ini semua harus berakhir
3) Agar menjadi saksi cinta kita berdua….berdua
3.2.2 Gaya Bahasa Pertentangan
Ironi ialah suatu gaya bahasa yang menyatakan sindiran dan sifatnya sangat halus
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah:
Tak semudah seperti yang pernah terjadi meredupkan perasaan kita
Hiperbola ialah suatu gaya bahasa yang mengandung arti atau pernyataan yang sifatnya berlebih-lebihan.
Gaya bahasa hiperbola dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah:
Tetaplah menjadi bintang di langit
Personifikasi ialah suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa.
Gaya bahasa personifikasi dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
1) biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
2) meredupkan perasaan kita
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam makalah yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” dapat disimpulkan bahwa:
4.1.1 Gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagu “Mahadewi” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi” antara lain:
1) Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan, yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang.
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan.
Mahadewi resapkan nilainya, Mahadewi tercipta untukku
2) Gaya Bahasa Pertentangan
Hiperbola ialah suatu gaya bahasa yang mengandung arti atau pernyataan yang sifatnya berlebih-lebihan.
Gaya bahasa hiperbola dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
Alam raya pun semua tersenyum, menunduk dam memuja hadirnya.
Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa
3) Gaya Bahasa Pertautan
Metonimia, yaitu majas yang berupa pemakaian nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan orang, barang atau hal.
Gaya bahasa metonimia dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
Mahadewi resapkan nilainya yang dimaksud mahadewi adalah kekasih hati, orang yang dicintai,
2) Gaya Bahasa Perbandingan
Metafora ialah gaya bahasa perbandingan yang terdiri dari dua hal yang berbeda dan harus tersusun secara rapi, singkat juga padat (perumpamaan langsung, sesuatu yang mempunyai kesamaan kesejajaran.
Gaya bahasa metafora dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
Hamparan langit maha sempurna bertahta bintang-bintang angkasa
Ada tutur kata terucap, ada damai yang kurasakan
Mahadewi resapkan nilainya
Personifikasi ialah suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa.
Gaya bahasa personifikasi dalam lagu “Mahadewi” adalah antara lain:
Bila sinarnya sentuh wajahku, kepedihanku terhapuskan
Alam raya pun semua tersenyum
Namun satu bintang yang berpijar teriuntai turun menyapa aku
4.1.2 Gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagu “Kasih Tak Sampai” yang dinyanyikan oleh grup band “Padi”?
1) Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan yaitu dengan mengungkapkan hal secara berulang-ulang.
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
Indah terasa indah
Sudah….lambat sudah, ini semua harus berakhir
Agar menjadi saksi cinta kita berdua….berdua
2) Gaya Bahasa Pertentangan
Ironi ialah suatu gaya bahasa yang menyatakan sindiran dan sifatnya sangat halus
Gaya bahasa perulangan dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
Tak semudah seperti yang pernah terjadi meredupkan perasaan kita
Hiperbola ialah suatu gaya bahasa yang mengandung arti atau pernyataan yang sifatnya berlebih-lebihan.
Gaya bahasa hiperbola dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
Tetaplah menjadi bintang di langit
3) Personifikasi ialah suatu jenis gaya bahasa yang menerapkan sifat-sifat manusia dengan benda yang tak bernyawa.
Gaya bahasa personifikasi dalam lagu “Kasih tak Sampai” adalah antara lain:
biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
meredupkan perasaan kita
4.2 Saran
Dalam makalah yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa (Majas) dalam Lirik Lagu Grup Band Padi” mungkin terdapat banyak kekurangan oleh sebab itu, bagi pembaca khususnya kami sarankan untuk menambah ataupun mempebaiki makalah ini demi kesempurnaan makalah. Di samping itu perlu adanya pemahaman yang lebih baik tentang berbagai gaya bahasa yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pustaka Agung Harapan. 2005. Rangkuman Materi Penting Pintar Bahasa Indonesia Tata Bahasa, Pengetahuan Bahasa dan Kesusastraan. Surabaya: CV. Pustaka Harapan Surabaya
Padi. 2001. Padi: Sesuatu yang Tertunda. Jakarta: Aguarius.
Minggu, 24 April 2011
PRAGMATIK
Pragmatik
1. Pendahuluan
Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.
Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.
2. Definisi Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
4.1 Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
4.3 Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
4.4 Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At the weekend.
A: What weekend?
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
4.5 Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).
5. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
6. Penutup
Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
Daftar Acuan
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
1. Pendahuluan
Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.
Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.
2. Definisi Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
4.1 Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
4.3 Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
4.4 Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At the weekend.
A: What weekend?
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
4.5 Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).
5. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
6. Penutup
Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
Daftar Acuan
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
Kamis, 21 April 2011
PENGARUH PACARAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMA DARUL ULUM KEPOHBARU
PENGARUH PACARAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR
SISWA SMA DARUL ULUM KEPOHBARU
Guru Pembimbing:
MOCHAMAD MA’SUN, S.Pd.
MAKALAH BAHASA INDONESIA
Disusun Oleh:
1. NUZUL FITRIYAH (20)
2. NUR NISA’ADAH (19)
3. DWI ASTUTIK (08)
4. M. BENI SAPUTRA (17)
5. IMAM SYARIFUDIN (15)
KELAS XI IS 1
LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF
SMA DARUL ULUM KEPOHBARU
2010/2011
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Jangan mencintai pacar secara berlebihan, melebihi cintamu kepada Allah dan juga kedua orangtuamu”
“Satukan tekatmu, kobarkan semangatmu, demi meraih prestasi gemilang”
Makalah ini kami persembahkan untuk:
Siswa-siswi SMA Darul Ulum Kepohbaru, khususnya kelas XI IS1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan atas kehadirat Illahi Robbi yang mana atas limpahan rahmad serta hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengaruh Pacaran terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru” dengan lancar tanpa halangan apapun.
Selanjutnya, ucapan terima kasih kepada Bapak Mochamad Ma’sun, S.Pd., selaku pembimbing serta semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak/Ibu guru maupun teman-teman. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi yang membaca. Amien.
Kepohbaru, 22 Nopember 2010
Penyusun
ABSTRAK
Fitriyah, Nuzul, Nur Nisa’adah, Dwi Astutik, Beni Saputra, Imam Syarifudin. 2010. Pengaruh Pacaran terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
Makalah ini menjelaskan tentang pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru. Seperti kita ketahui, pacaran merupakan hal yang sudah biasa dijalani oleh remaja saat ini. Salah satu remaja yang menjalani pacaran adalah siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru. Di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pengertian pacaran, pengertian prestasi belajar siswa, pengaruh positif dan negarif pacaran. Penelitian tentang pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru, serta hasil penelitian tersebut. Makalah ini sangat menarik, maka baca dan pahami isinya. Selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pacaran, siapa orang yang tak tahu dengan istilah satu ini. Zaman sekarang siswa SD dan murid-murid taman kanak-kanak pun sudah pintar memakai istilah ini. Istilah ini dapat diartikan sebagai sebuah proses yang lebih dikenal dengan proses penjajakan antara lawan jenis. Penjajakan tersebut meliputi banyak aspek dari orang yang akan dijajaki, baik terkait fisik maupun non fisik.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 32:
“Janganlah kamu sekalian mendekati perzinaan, karena zina itu adalah peruatan yang keji…..”(QS. Al-Isra: 32).
Istilah pacaran yang yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat dengan mereka. Jika lawan jenis yang diajak pacaran tadi dirasa cocok dan memenuhi criteria yang diinginkan, maka cita-cita selanjutnya adalah ingin hidup bersama orang yang dipacari tadi. Itu adalah tujuan yang dianggap paling mulia dari proses pacaran. Namun pacaran juga memiliki banyak aspek keburukan. Ada orang yang berpacaran hanya untuk memenuhi hasrat nafsu, biasanya ini terjadi dikalangan remaja termasuk para siswa. Secara fisik dan materi sangat-sangat belum siap untuk menikah dan membangun rumah tangga, namun karena terikat dengan trend berpacaran, akhirnya para remaja pun menjalani proses ini.
Dengan menulis makalah ini, penulis bertujuan untuk meneliti mengenai pengaruh pacaran bagi prestasi siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru yang menggunakan populasi 24 anak dari kelas penulis, yaitu kelas XI IS1 dan penulis mengambil sampel 2 anak diantara teman-teman penulis. Penulis mengambil tema tersebut karena banyak siswa-siswi terutama pada siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru, yang melakukan pacaran. Semoga dengan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca makalah ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas kami memilih untuk mengupas masalah pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru karena menurut kami masih ada banyak fakta yang terungkap mengenai pacaran dan tingkat prestasi belajar siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru.
Pacaran sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tingkah laku siswa dan nilai raport mereka di sekolah. Siswa yang mempunyai pacara biasanya suka berdandan, sering kuluar untuk berkencan, menghabiskan banyak waktu, fikiran, tenaga dan uang untuk pacar. Tetapi ada juga siswa yang semakin semangat dalam belajar.
1.3 Rumusan Masalah
Masalah pacaran sangatlah luas luas dan kompleks. Agar pembahasan lebih terarah. Makalah ini hanya membahas aspek yang penting . aspek yang kami bahas meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan pacaran?
2. Apa yang dimaksud dengan prestasi belajar siswa?
3. Apa saja pengaruh positif dan negative pacaran?
1.4 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menuntaskan tugas yang telah diberikan penulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan makna pacaran dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa.
3. Melatih kita dalam melakukan wawancara.
1.5 Manfaat
1. Supaya pembaca lebih mnengutamakan sekolah daripada pacaran.
2. Adanya sikap saling kerja sama dalam menyelesaikan tugas.
3. Agar siswa-siswi lebih bersemangat dalam menggapai prestasi belajar yang tinggi.
1.6 Definisi Operasional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, define operasional dari:
1. Pengaruh : Daya yang timbul dari sesuatu atau orang lain.
2. Pacaran : Tindakan bercinta-cintaan atau berkasih-kasihan dengan sang pacar.
3. Terhadap : Kata depan untuk menandai arah
4. Prestasi : Hasil yang dicapai
5. Belajar : Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman yang telah ditetapkan bersama.
6. Siswa : Murid terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah.
7. SMA : Sekolah umum selepas sekolah menengah pertama (SMP) sebelum perguruan tinggi.
8. Darul : Alam atau tempat
9. Ulum : Berasal dari kata ilmu
10. Kepohbaru : Berasal dari nama sebuah kecamatan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Pacaran
Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Menurut pandangan Ibnu Qoyyim, pacaran adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya.
Menurut Muhammad Naufal, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas. Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya.
Firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya …’.” (An-Nur: 30–31).
2.2 Tahapan dalam Pacaran
1. Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat-sifat yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya, akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, "Akankah ia mencintaiku." Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.
2. Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, "Aku mencintaimu". Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, "I LOve You". Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan? pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, "Apel Mingguan atau Wakuncar ". Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.
3. Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. " buktikan cintamu sayangku". Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na'udzubillah
Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan,? dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.
2.3 Pengertian Prestasi Belajar
Sebelum membicarakan prestasi belajar peserta didik, terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan belajar. Menurut S. Nasution prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan:
1. Metode penelitian deskriptif, yaitu dengan menyusun kata-kata dan kalimat yang bersumber dari buku-buku, artikel dan majalah.
2. Metode penelitian observatif, yaitu dengan mewawancarai dua siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru yang pernah berpacaran.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang kami gunakan untuk penelitian makalah ini adalah di SMA Darul Ulum Kepohbaru, khususnya kelas XI IPS1 pada tanggal 12 Nopember 2010.
3.3 Objek Penelitian
Dalam objek penelitian ini kami mengambil dua sampel dari siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru khususnya kelas XI IPS1. Jadi penelitian kami berkembang dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini kami menggunakan teknik kualitatif, karena makalah ini disusun berdasarkan penuturan dan data yang berupa pendapat-pendapatyang telah dikemukakan oleh para ulama atau orang yang berkompeten dalam masalah ini.
3.5 Sumber Data
Data yang dikemukakan dalam makalah ini, kami peroleh melalui berbagai cara. Pertama, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya dengan pacaran. Kedua, memalui artikel internet dan majalah. Ketiga, data juga diperoleh memalui wawancara dengan nara sumber yang berkompeten.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengertian Pacaran
Pacaran merupakan hubungan antara lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang emmpunyai hubungan khusus dan melebihi dari status teman. Biasanya orang-orang banyak yang sudah melakukan hubungan tersebut karena hubungan tersebut telah umum di mana saja. Pada umumnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya tindakan pacaran terhadap remaja masa kini. Misalnya: pengaruh sinetron tapi ada juga yang meniru kehidupan orang-orang di sekitar mereka.
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”
Pacaran bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, tetapi juga bukan hal termudah di dunia. Maklum pacaran tidak melibatkan satu orang saja, tetapi dua orang. Susah sekali kalau hanya kita saja yang serius, sementara pacar kita hanya main-main. Oleh Karena itu, kita harus ekstra hati-hati membaca tindakan pacar kita. Kita harus menyelidiki apakah pacar kita benar-benar saying dan serius menjalin hubuungan dengan kita.
4.2 Pengetian Prestasi Belajar Siswa
Prestasi belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajara siswa di sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dilihat dari nilai rapornya yang bagus.
Kesuksesan yang diperoleh dan ilmu pengetahuan yang didapat. Dalam kehidupan kita di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak ingin berprestasi, seandainya ada orang yang tidak ingin berprestasi, sebenarnya tidak mempunyai tujuan atau cita-cita hidup.
Untuk mencapai prestasi belajar , kita perlu mengubah sikap yang tidak baik menuju pada suatu sikap dan tindakan yang lebih baik. Dalam hal ini kita perlu mempersiapkan diri dan bersedia untuk mengambil resiko demi mencapai prestasi yang cemerlang. Ada beberapa faktor yang perlu ada pada diri kita untuk mencapai prestasi belajar.
Pertama, kita seharusnya memiliki cita-cita. Dengan adanya wawasan, kita akan berusaha secara total mencapai cita-cita itu, sehingga dapat diwujudkan menjadi ssuatu kenyataan.
Kedua, kita hendaknya membuang malas, karena sikap malas adalah salah satu musuh dan penghalang kita untuk mencapai pretasi. Prestasi hanya akan dapat diperoleh dengan berusaha dan bukan dengan bermalas-malasan. Oleh sebab itu, kita perlu menanamkan di dalam diri kita sikap rajin berusaha dan ingin selalu mencoba, lebih bi kita menconba sesuatu tetapi gagal, daripada tidak mencoba tetapi merasa gagal dalam berprestasi.
Ketiga, `kita haruslah berfikir positif untuk berbuat sesuatu. Setiap teguran dan kritikan perlu dianggap sebagai suatu hal yang positif, kita tidak harus marah atas teguran serta kritikan orang lain. Dari kritikan inilah kita dapat mengetahui antara yang benar dan yang salah untuk dapat dijadikan acuan dalam membangun potensi diri muneju prestasi.
Keempat, menempatkan sifat malu sesuai pada kedudukannya. Seandainya kita malu untuk bertanya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, maka apa yang hendak kita capai akan mengalami hambatan. Malu memang harus kita miliki, tetapi hanya dalam hal berbuat sesuatu yang tidak baik serta dilarang oleh ajaran agama. Adapun dalam berbuat sesuatu yang baik justru dapat membuat kita berhasil dalam mencapai prestasi, kita tidak boleh malu.
4.3 Pengaruh Positif dan Negatif Pacaran
Pacaran sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Pengaruh positif pacaran terhadap prestasi belajar siswa antara lain:
1. Bisa untuk saling menginggatkan dalam hal-hal positif;
2. Sebagai penyemangat dalam belajar;
3. Bisa menjadi teman curhat;
4. Bisa menjadi orang yang selalu ada dimanampun kita berada.
Sedangkan pengaruh negative pacaran terhadap prestasi belajar siswa antara lain:
1. Bisa membuat amalas belajar;
2. Bisa membuat nilai menjadi turun;
3. Bisa menyita waktu belajar untuk pacaran;
4. Pacaran bisa menjerumuskan kita pada seks bebas yang dapat mengarah pada penggunaan obat-obat berbahaya, hal-hal pornografi bahkan narkoba.
4.4 Penelitian tentang Pengaruh Pacaran Terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru
Kami melakukan penelitian dengan cara mewawancarai dua teman sekelas kami. Kegiatan wawancara kami laksanakan pada:
Hari : Jum’at
Tanggal : 12 Nopember 2010
Jam : 10.40 WIB
Tempat : SMA Darul Ulum Kepohbaru
Dalam penelitian ini penulis menyiapkan alat-alat yang digunakan untuk penelitian agar menjadi mudah, antara lain: kertas, bolpoint, pensil, penghapus, buku-buku perpustakaan.
4.5 Hasil Penelitian
Pertanyaan:
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Apa dampak yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
Jawaban:
Siswa 1 (A. Fahrur Aghis)
1. Perlu, karena pacaran merupakan hal yang sangat biasa dan wajar bagi remaja terutama siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
2. Biasanya lupa belajar, lupa waktu untuk sholat dan mebuang-buang waktu karena dipergunakan untuk pacaran.
3. Biasanya siswa-siswi cenderung menurun karena pacaran terus-menerus.
4. Dampak positif
- Bisa juga untuk saringan dalam pelajaran.
- Untuk motivasi dalam pelajaran karena mendapat dukungan dari pacar.
Dampak negatif
- Membuang-bunag waktu karena hanya dipergunakan untuk pacaran.
- Menjadi malas belajar karena terus menerus untuk pacaran.
5. Bisa, karena terlalu sering berpacaran siswa-siswi lupa untuk belajar.
Siswa 2 (Ariska Rahmawati)
1. Tidak perlu, karena belum waktunya berpacaran dan pacaran adalah hal yang mendekati zina, meliputi mata, zina tangan dan zina lisan. Contohnya rayuan, pandangan mata, pegang-pegangan tangan dan yang lebih parah lagi adalah zina kelamin.
2. Malas belajar, membuang-buang waktu sehingga nilai ulangan menurun.
3. Lupa akan waktu belajar dan menganggap semuanya tidak penting.
4. Dampak positif
- Dapat mengetahui watak dan cirri-ciri dari kekasih lawan jenis.
- Sebagai penyemangat hidup.
Dampak negatif
- Pelajar cenderung malas belajar sehingga nilai pelajaran merosot.
- Membuang-buang waktu untuk pacaran.
5. Bisa, karena siswa menjasi malas belajar, karena terlalu mementingkan pacaran daripada belajar sehingga lupa waktu untuk belajar.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas kami dapat menyimpulakan bahwa:
1. Pacaran merupakan hubungan antara lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang emmpunyai hubungan khusus dan melebihi dari status teman.
2. Prestasi belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajara siswa di sekolah.
3. Pengaruh pacaran bagi pelajaran dapat merugikan diri sendiri, karena sangat berlebihan sehingga lupa waktu untuk belajar dan menganggap pacar adalah segala-segalanya.
5.2 Saran
Semoga ini memberika informasi dan bermanfaat bagi kita semua. Sebaiknya kita tidak terlebih dahulu berpacaran karena masih pelajar. Kita harus lebih mengutamakan belajar daripada pacaran. Meskipun kita berpacaran, kita harus ekstra hati-hati membaca tindakan pacar kita, apakah dia benar-benar saying dan serius menjalin hubungan dengan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. 2010. “Pengaruh Pacaran Terhadap Prestasi Belajar Siswa”. www.google.com. 6 Nopember.
Nasution, S. 2010. “Pengertian Prestasi Belajar”. www.google.com. 6 Desember.
Naufal, Muhammad. 2010. “Hukum Berpacaran menurut Pandangan Islam”. www.google.com. 16 Nopember.
Purnomo, Erwin. 2010. “Dampak Pacaran terhadap Pelajar”. www.google.com. 6 Nopember.
Afriyanto, Yusep. 2010. “Pacaran menurut Islam”. www.google.com. 16 Nopember.
Yuwono, Trisno. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: ARKOLA.
Tim Penyusun. 2006. Kewarganegaraan Kelas XI untuk SMA/MA. Klaten: Cempaka Putih.
Tim Redaksi. 2007. ANGKASA Edisi Ke-2. Surabaya: PT. PEDANA OFFSET.
Lampiran 1
DAFTAR ANGKET SISWA-SISWI
Nama siswa yang diwawancarai : A. Fahrur Aqhis
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Dampak apakah yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
Lampiran 2
DAFTAR ANGKET SISWA-SISWI
Nama siswa yang diwawancarai : Ariska Rohmawati
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Dampak apakah yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
SISWA SMA DARUL ULUM KEPOHBARU
Guru Pembimbing:
MOCHAMAD MA’SUN, S.Pd.
MAKALAH BAHASA INDONESIA
Disusun Oleh:
1. NUZUL FITRIYAH (20)
2. NUR NISA’ADAH (19)
3. DWI ASTUTIK (08)
4. M. BENI SAPUTRA (17)
5. IMAM SYARIFUDIN (15)
KELAS XI IS 1
LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF
SMA DARUL ULUM KEPOHBARU
2010/2011
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Jangan mencintai pacar secara berlebihan, melebihi cintamu kepada Allah dan juga kedua orangtuamu”
“Satukan tekatmu, kobarkan semangatmu, demi meraih prestasi gemilang”
Makalah ini kami persembahkan untuk:
Siswa-siswi SMA Darul Ulum Kepohbaru, khususnya kelas XI IS1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan atas kehadirat Illahi Robbi yang mana atas limpahan rahmad serta hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengaruh Pacaran terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru” dengan lancar tanpa halangan apapun.
Selanjutnya, ucapan terima kasih kepada Bapak Mochamad Ma’sun, S.Pd., selaku pembimbing serta semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak/Ibu guru maupun teman-teman. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi yang membaca. Amien.
Kepohbaru, 22 Nopember 2010
Penyusun
ABSTRAK
Fitriyah, Nuzul, Nur Nisa’adah, Dwi Astutik, Beni Saputra, Imam Syarifudin. 2010. Pengaruh Pacaran terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
Makalah ini menjelaskan tentang pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru. Seperti kita ketahui, pacaran merupakan hal yang sudah biasa dijalani oleh remaja saat ini. Salah satu remaja yang menjalani pacaran adalah siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru. Di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pengertian pacaran, pengertian prestasi belajar siswa, pengaruh positif dan negarif pacaran. Penelitian tentang pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru, serta hasil penelitian tersebut. Makalah ini sangat menarik, maka baca dan pahami isinya. Selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pacaran, siapa orang yang tak tahu dengan istilah satu ini. Zaman sekarang siswa SD dan murid-murid taman kanak-kanak pun sudah pintar memakai istilah ini. Istilah ini dapat diartikan sebagai sebuah proses yang lebih dikenal dengan proses penjajakan antara lawan jenis. Penjajakan tersebut meliputi banyak aspek dari orang yang akan dijajaki, baik terkait fisik maupun non fisik.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 32:
“Janganlah kamu sekalian mendekati perzinaan, karena zina itu adalah peruatan yang keji…..”(QS. Al-Isra: 32).
Istilah pacaran yang yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat dengan mereka. Jika lawan jenis yang diajak pacaran tadi dirasa cocok dan memenuhi criteria yang diinginkan, maka cita-cita selanjutnya adalah ingin hidup bersama orang yang dipacari tadi. Itu adalah tujuan yang dianggap paling mulia dari proses pacaran. Namun pacaran juga memiliki banyak aspek keburukan. Ada orang yang berpacaran hanya untuk memenuhi hasrat nafsu, biasanya ini terjadi dikalangan remaja termasuk para siswa. Secara fisik dan materi sangat-sangat belum siap untuk menikah dan membangun rumah tangga, namun karena terikat dengan trend berpacaran, akhirnya para remaja pun menjalani proses ini.
Dengan menulis makalah ini, penulis bertujuan untuk meneliti mengenai pengaruh pacaran bagi prestasi siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru yang menggunakan populasi 24 anak dari kelas penulis, yaitu kelas XI IS1 dan penulis mengambil sampel 2 anak diantara teman-teman penulis. Penulis mengambil tema tersebut karena banyak siswa-siswi terutama pada siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru, yang melakukan pacaran. Semoga dengan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca makalah ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas kami memilih untuk mengupas masalah pengaruh pacaran terhadap prestasi belajar siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru karena menurut kami masih ada banyak fakta yang terungkap mengenai pacaran dan tingkat prestasi belajar siswa SMA DArul Ulum Kepohbaru.
Pacaran sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari perubahan tingkah laku siswa dan nilai raport mereka di sekolah. Siswa yang mempunyai pacara biasanya suka berdandan, sering kuluar untuk berkencan, menghabiskan banyak waktu, fikiran, tenaga dan uang untuk pacar. Tetapi ada juga siswa yang semakin semangat dalam belajar.
1.3 Rumusan Masalah
Masalah pacaran sangatlah luas luas dan kompleks. Agar pembahasan lebih terarah. Makalah ini hanya membahas aspek yang penting . aspek yang kami bahas meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan pacaran?
2. Apa yang dimaksud dengan prestasi belajar siswa?
3. Apa saja pengaruh positif dan negative pacaran?
1.4 Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menuntaskan tugas yang telah diberikan penulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan makna pacaran dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa.
3. Melatih kita dalam melakukan wawancara.
1.5 Manfaat
1. Supaya pembaca lebih mnengutamakan sekolah daripada pacaran.
2. Adanya sikap saling kerja sama dalam menyelesaikan tugas.
3. Agar siswa-siswi lebih bersemangat dalam menggapai prestasi belajar yang tinggi.
1.6 Definisi Operasional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, define operasional dari:
1. Pengaruh : Daya yang timbul dari sesuatu atau orang lain.
2. Pacaran : Tindakan bercinta-cintaan atau berkasih-kasihan dengan sang pacar.
3. Terhadap : Kata depan untuk menandai arah
4. Prestasi : Hasil yang dicapai
5. Belajar : Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman yang telah ditetapkan bersama.
6. Siswa : Murid terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah.
7. SMA : Sekolah umum selepas sekolah menengah pertama (SMP) sebelum perguruan tinggi.
8. Darul : Alam atau tempat
9. Ulum : Berasal dari kata ilmu
10. Kepohbaru : Berasal dari nama sebuah kecamatan.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Pacaran
Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Menurut pandangan Ibnu Qoyyim, pacaran adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya.
Menurut Muhammad Naufal, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas. Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya.
Firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya …’.” (An-Nur: 30–31).
2.2 Tahapan dalam Pacaran
1. Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat-sifat yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya, akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, "Akankah ia mencintaiku." Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.
2. Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, "Aku mencintaimu". Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, "I LOve You". Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan? pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, "Apel Mingguan atau Wakuncar ". Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.
3. Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. " buktikan cintamu sayangku". Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na'udzubillah
Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan,? dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.
2.3 Pengertian Prestasi Belajar
Sebelum membicarakan prestasi belajar peserta didik, terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan belajar. Menurut S. Nasution prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan:
1. Metode penelitian deskriptif, yaitu dengan menyusun kata-kata dan kalimat yang bersumber dari buku-buku, artikel dan majalah.
2. Metode penelitian observatif, yaitu dengan mewawancarai dua siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru yang pernah berpacaran.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang kami gunakan untuk penelitian makalah ini adalah di SMA Darul Ulum Kepohbaru, khususnya kelas XI IPS1 pada tanggal 12 Nopember 2010.
3.3 Objek Penelitian
Dalam objek penelitian ini kami mengambil dua sampel dari siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru khususnya kelas XI IPS1. Jadi penelitian kami berkembang dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini kami menggunakan teknik kualitatif, karena makalah ini disusun berdasarkan penuturan dan data yang berupa pendapat-pendapatyang telah dikemukakan oleh para ulama atau orang yang berkompeten dalam masalah ini.
3.5 Sumber Data
Data yang dikemukakan dalam makalah ini, kami peroleh melalui berbagai cara. Pertama, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya dengan pacaran. Kedua, memalui artikel internet dan majalah. Ketiga, data juga diperoleh memalui wawancara dengan nara sumber yang berkompeten.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengertian Pacaran
Pacaran merupakan hubungan antara lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang emmpunyai hubungan khusus dan melebihi dari status teman. Biasanya orang-orang banyak yang sudah melakukan hubungan tersebut karena hubungan tersebut telah umum di mana saja. Pada umumnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya tindakan pacaran terhadap remaja masa kini. Misalnya: pengaruh sinetron tapi ada juga yang meniru kehidupan orang-orang di sekitar mereka.
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”
Pacaran bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, tetapi juga bukan hal termudah di dunia. Maklum pacaran tidak melibatkan satu orang saja, tetapi dua orang. Susah sekali kalau hanya kita saja yang serius, sementara pacar kita hanya main-main. Oleh Karena itu, kita harus ekstra hati-hati membaca tindakan pacar kita. Kita harus menyelidiki apakah pacar kita benar-benar saying dan serius menjalin hubuungan dengan kita.
4.2 Pengetian Prestasi Belajar Siswa
Prestasi belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajara siswa di sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dilihat dari nilai rapornya yang bagus.
Kesuksesan yang diperoleh dan ilmu pengetahuan yang didapat. Dalam kehidupan kita di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak ingin berprestasi, seandainya ada orang yang tidak ingin berprestasi, sebenarnya tidak mempunyai tujuan atau cita-cita hidup.
Untuk mencapai prestasi belajar , kita perlu mengubah sikap yang tidak baik menuju pada suatu sikap dan tindakan yang lebih baik. Dalam hal ini kita perlu mempersiapkan diri dan bersedia untuk mengambil resiko demi mencapai prestasi yang cemerlang. Ada beberapa faktor yang perlu ada pada diri kita untuk mencapai prestasi belajar.
Pertama, kita seharusnya memiliki cita-cita. Dengan adanya wawasan, kita akan berusaha secara total mencapai cita-cita itu, sehingga dapat diwujudkan menjadi ssuatu kenyataan.
Kedua, kita hendaknya membuang malas, karena sikap malas adalah salah satu musuh dan penghalang kita untuk mencapai pretasi. Prestasi hanya akan dapat diperoleh dengan berusaha dan bukan dengan bermalas-malasan. Oleh sebab itu, kita perlu menanamkan di dalam diri kita sikap rajin berusaha dan ingin selalu mencoba, lebih bi kita menconba sesuatu tetapi gagal, daripada tidak mencoba tetapi merasa gagal dalam berprestasi.
Ketiga, `kita haruslah berfikir positif untuk berbuat sesuatu. Setiap teguran dan kritikan perlu dianggap sebagai suatu hal yang positif, kita tidak harus marah atas teguran serta kritikan orang lain. Dari kritikan inilah kita dapat mengetahui antara yang benar dan yang salah untuk dapat dijadikan acuan dalam membangun potensi diri muneju prestasi.
Keempat, menempatkan sifat malu sesuai pada kedudukannya. Seandainya kita malu untuk bertanya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, maka apa yang hendak kita capai akan mengalami hambatan. Malu memang harus kita miliki, tetapi hanya dalam hal berbuat sesuatu yang tidak baik serta dilarang oleh ajaran agama. Adapun dalam berbuat sesuatu yang baik justru dapat membuat kita berhasil dalam mencapai prestasi, kita tidak boleh malu.
4.3 Pengaruh Positif dan Negatif Pacaran
Pacaran sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Pengaruh positif pacaran terhadap prestasi belajar siswa antara lain:
1. Bisa untuk saling menginggatkan dalam hal-hal positif;
2. Sebagai penyemangat dalam belajar;
3. Bisa menjadi teman curhat;
4. Bisa menjadi orang yang selalu ada dimanampun kita berada.
Sedangkan pengaruh negative pacaran terhadap prestasi belajar siswa antara lain:
1. Bisa membuat amalas belajar;
2. Bisa membuat nilai menjadi turun;
3. Bisa menyita waktu belajar untuk pacaran;
4. Pacaran bisa menjerumuskan kita pada seks bebas yang dapat mengarah pada penggunaan obat-obat berbahaya, hal-hal pornografi bahkan narkoba.
4.4 Penelitian tentang Pengaruh Pacaran Terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru
Kami melakukan penelitian dengan cara mewawancarai dua teman sekelas kami. Kegiatan wawancara kami laksanakan pada:
Hari : Jum’at
Tanggal : 12 Nopember 2010
Jam : 10.40 WIB
Tempat : SMA Darul Ulum Kepohbaru
Dalam penelitian ini penulis menyiapkan alat-alat yang digunakan untuk penelitian agar menjadi mudah, antara lain: kertas, bolpoint, pensil, penghapus, buku-buku perpustakaan.
4.5 Hasil Penelitian
Pertanyaan:
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Apa dampak yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
Jawaban:
Siswa 1 (A. Fahrur Aghis)
1. Perlu, karena pacaran merupakan hal yang sangat biasa dan wajar bagi remaja terutama siswa SMA Darul Ulum Kepohbaru.
2. Biasanya lupa belajar, lupa waktu untuk sholat dan mebuang-buang waktu karena dipergunakan untuk pacaran.
3. Biasanya siswa-siswi cenderung menurun karena pacaran terus-menerus.
4. Dampak positif
- Bisa juga untuk saringan dalam pelajaran.
- Untuk motivasi dalam pelajaran karena mendapat dukungan dari pacar.
Dampak negatif
- Membuang-bunag waktu karena hanya dipergunakan untuk pacaran.
- Menjadi malas belajar karena terus menerus untuk pacaran.
5. Bisa, karena terlalu sering berpacaran siswa-siswi lupa untuk belajar.
Siswa 2 (Ariska Rahmawati)
1. Tidak perlu, karena belum waktunya berpacaran dan pacaran adalah hal yang mendekati zina, meliputi mata, zina tangan dan zina lisan. Contohnya rayuan, pandangan mata, pegang-pegangan tangan dan yang lebih parah lagi adalah zina kelamin.
2. Malas belajar, membuang-buang waktu sehingga nilai ulangan menurun.
3. Lupa akan waktu belajar dan menganggap semuanya tidak penting.
4. Dampak positif
- Dapat mengetahui watak dan cirri-ciri dari kekasih lawan jenis.
- Sebagai penyemangat hidup.
Dampak negatif
- Pelajar cenderung malas belajar sehingga nilai pelajaran merosot.
- Membuang-buang waktu untuk pacaran.
5. Bisa, karena siswa menjasi malas belajar, karena terlalu mementingkan pacaran daripada belajar sehingga lupa waktu untuk belajar.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas kami dapat menyimpulakan bahwa:
1. Pacaran merupakan hubungan antara lawan jenis atau laki-laki dengan perempuan yang emmpunyai hubungan khusus dan melebihi dari status teman.
2. Prestasi belajar siswa merupakan hasil yang telah dicapai siswa dalam proses belajara siswa di sekolah.
3. Pengaruh pacaran bagi pelajaran dapat merugikan diri sendiri, karena sangat berlebihan sehingga lupa waktu untuk belajar dan menganggap pacar adalah segala-segalanya.
5.2 Saran
Semoga ini memberika informasi dan bermanfaat bagi kita semua. Sebaiknya kita tidak terlebih dahulu berpacaran karena masih pelajar. Kita harus lebih mengutamakan belajar daripada pacaran. Meskipun kita berpacaran, kita harus ekstra hati-hati membaca tindakan pacar kita, apakah dia benar-benar saying dan serius menjalin hubungan dengan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. 2010. “Pengaruh Pacaran Terhadap Prestasi Belajar Siswa”. www.google.com. 6 Nopember.
Nasution, S. 2010. “Pengertian Prestasi Belajar”. www.google.com. 6 Desember.
Naufal, Muhammad. 2010. “Hukum Berpacaran menurut Pandangan Islam”. www.google.com. 16 Nopember.
Purnomo, Erwin. 2010. “Dampak Pacaran terhadap Pelajar”. www.google.com. 6 Nopember.
Afriyanto, Yusep. 2010. “Pacaran menurut Islam”. www.google.com. 16 Nopember.
Yuwono, Trisno. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: ARKOLA.
Tim Penyusun. 2006. Kewarganegaraan Kelas XI untuk SMA/MA. Klaten: Cempaka Putih.
Tim Redaksi. 2007. ANGKASA Edisi Ke-2. Surabaya: PT. PEDANA OFFSET.
Lampiran 1
DAFTAR ANGKET SISWA-SISWI
Nama siswa yang diwawancarai : A. Fahrur Aqhis
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Dampak apakah yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
Lampiran 2
DAFTAR ANGKET SISWA-SISWI
Nama siswa yang diwawancarai : Ariska Rohmawati
1. Menurut anda apakah pacaran itu perlu? Jelaskan!
2. Pengaruh apakah yang terjadi jika siswa terlalu sering berpacaran?
3. Dampak apakah yang terjadi jika siswa sering berpacaran?
4. Apakah dampak positif dan negative pada hubungan berpacaran?
5. Menurut anda, bisakah karena berpacaran berpacaran prestasi belajar menurun? Beri alasannya!
Langganan:
Postingan (Atom)