KRITIK SOSIAL CERPEN KOMPAS
“LARON”
Tugas Ujian Akhir Semester Ganjil
Oleh:
Sigit Gunawan
NIM: 10.062.101.0053
Dosen:
Sutardi, S.S.,M.Pd.
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCA SARJANA MAGISTER PENDIDIKAN (M.Pd)
UNIVERSITAS DARUL ULUM LAMONGAN
Tahun Akademik 2010/2011
PENDAHULUAN
Prinsip-Prinsip Sosiologi Sastra
Sosiologi berasal dari bahasa Yunani soio atau socious yang berarti ‘masyarakat’ dan kata logi atau logos yang berarti ‘ilmu’. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris (Ratna.2003:1).
Keadaan masyarakat di salah satu tempat pada suatu saat penciptaan karya sastra, secara ilustratif akan tercermin di dalam sebuah karya sastra. Karya sastra biasanya berisi lukisan yang jelas tentang suatu tempat dalam suatu masa dengan berbagai tindakan manusia. Manusia dengan berbagai tindakannya di dalam masyarakat merupakan objek kajian sosiologi. Seperti yang dikatakan Marx dalam Faruk (1999:6), struktur sosial sustu masyarakat, juga struktur lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu.
Pembahasan hubungan antara sastra dengan masyarakat biasanya bertolak dari frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (litelature is an expression of society) (Wellek.1995:110). Hal ini dimaksudkan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup. Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya tentang hidup, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat sebagai makhluk sosial.
Sosiologi mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat yang bersifat eksternal mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adapt istiadat dan politik (Wellek dan warren 1995: 110).
Wellek dan Warren (Damono 1978:3), mengemukakan adanya tiga klasifikasi pendekatan sosiologi sastra yaitu:
1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
2. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang menjadi tujuannya.
3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial sastra.
Klasifikasi sosiologi sastra dari Wellek dan Warren inilah yang akan digunakan dalam penelitian skripsi tentang kritik sosial dalam kumpulan cerpen Acuh Tak Acuh karya korrie Layun Rampan, yang menitik beratkan pada sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat daam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Kritik Sosial dalam cerpen
Kata ‘kritik’ yang lazim kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani krinein yang berarti ‘mengamati, membandingkan dan menimbang’. Dan kritik itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pengamatan yang diteliti, perbandingan yang adil terhadap baik-buruknya kualitas nilai suatu kebenaran sesuatu (Tarigan,1985:187-188). Sedangkan menurut KBBI (Alwi,2001:601) kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut bila dihubungkan dengan kritik terhadap suatu karya sastra ,kritik adalah tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu karya sastra yang disertai uraian-uraian dan perbandingan-perbandingan tentang baik buruk hasil karya sastra tersebut.
Kata sosial menurut KBBI (Alwi,2001:1085) adalah berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dari definisi ‘kritik’ dan ‘sosial’ tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah tanggapan terhadap karya sastra yang berhubungan dengan masyarakat atau kepentingan umum yang disertai uraian-uraian dan perbandingan tentang baik buruk karya sastra tersebut.
Ajib Rosidi dalam Tarigan (1985:175), mengatakan bahwa bentuk cerpen merupakan bentuk karya sastra yang digemari dalam dunia kesusastraan setelah perang dunia kedua. Bentuk ini tidak saja digemari pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali menki dilahirkan dalam dalam sebuah roman, tetapi juga didiskusikan oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen.
Cerpen atau cerita pendek sebagai salah satu prosa fiksi merupakan hasil pengungkapan pengalaman kehidupan sastrawan yang bersumber dari realitas-realitas objektif yang ada dilingkungan sosial (Hardjana:80). Banyaknya permasalahan pokok yang diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya menunjukkan betapa jelinya ia memotret berbagai gejolak yang ada di sekelilingnya. Pembaca yang kritis tentu tidak hanya memilih bacaan sastra yang murah, tetapi benar-benar memilih buku-buku yang dapat menambah wawasan hidupnya.
Sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terkait erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan (Jabrohim, 2001:167). Seorang pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ia senantiasa akan telibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi. Pernyataan di atas senada dengan apa yang diungkapkan Tirtawirya (1982:83) bahwa renungan atas kehidupan merupakan suatu ciri khas yang senantiasa terdapat dalam karya sastra. Dengan demikian keadaan masyarakat di sekitar pengarang akan berpengaruh terhadap kreatifitas pengarang dalam menghasilkan karya sastra.
Pengarang dalam menciptakan karya sastra mempunyai hak penuh untuk mengharapkan kebebasan dari masyarakat, namun masyarakat juga mempunyai alasan untuk mengharapkan rasa tanggung jawab sosial dari pengarang (Damono 1978:54). Rasa tanggung jawab ini berupa rasa kritik atau protes, tidak untuk membuat ilusi tetapi untuk menghancurkannya. “Bagaimanapun sastra, secara tersurat maupun tersirat merupakan penilaian kritik terhadap jamannya” (Damono 1978:54).
Dominannya kritik atau protes sosial dalam sastra itu identik pula dengan dominannya masalah sosial dalam kehidupan atau lembaga di luar sastra. Menurut Nurgiyantoro (2000:331), sastra yang mengandung pesan kritik atau disebut dengan sastra kritik, lahir di tengah-tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Banyak karya sastra yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang perlu dibela, rakyat kecil yang dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Berbagai penderitaan rakyat itu dapat berupa menjadi korban kesewenangan, penggusuran, penipuan atau selalu dipandang, diperlakukan atau diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah dan salah. Semua itu adalah hasil imajinasi pengarang yang telah merasa terlibat dan ingin memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannyalewat karya-karya yang dihasilkannya.
Dengan adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang, kebanyakan akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Nurgiyantoro (2000:331) mengatakan sastra yang mengandung pesan kritik dapat disebut sebagai kritik-biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain.
Jenis-Jenis Masalah Sosial
Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Ahmadi (1997:12) mendefinisikan masalah sosial sebagai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang yang berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan. Soekanto (2002:365-394) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, misalnya:
a. Kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara irinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
b. Kejahatan. Kejahatan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan dengan kecenderungan untuk melawan norma-norma hukum yang ada. Kejahatan yang perlu mendapatkan perhatian pada saat ini adalah apa yang disebut whitecollour crime, yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya
c. Disorganisasi keluarga. Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan peran sosialnya.
d. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat: yang termasuk ke dalam pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat antara lain;
1) pelacuran, diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan sejumlah uang.
2) delinkuensi anak-anak, sorotan terhadap delinkuensi anak-anak Indonesia terutama tertuju pada pelanggaran yang dilakukan anak-anak muda dari kelas sosial tertentu yang tergabung dalam suatu ikatan atau organisasi baik formal maupun semi formal yang mempunyai tingkah laku yang kurang disukai di masyarakat pada umumnya.
3) alkoholisme, dapat diartikan sebagai gaya hidup membudayakan alkohol.
4) homoseksualitas, adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
e. Masalah kependudukan yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah demografi, antara lain; bagimana menyebarkan penduduk secara merata dan bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran. Kepadatan penduduk yang tidak seimbang merupakan salah satu masalah kependudukan di Indonesia yang belum bisa diatasi sepenuhnya sampai saat ini.
f. Masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup berhubungan dengan hal-hal atau apa-apa yang berada disekitar manusia , baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup. Masalah lingkungan hidup ini dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) lingkungan fisik yaitu semua benda mati yang ada di sekeliling manusia, 2) lingkungan biologis yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup di samping manusia itu sendiri, 3) lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang secara individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia.
g. Birokrasi. Pengertian birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksaan tugas-tugas administratif.
1.4 Faktor yang Menyebabkan Munculnya Masalah Sosial
Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial (Soekanto 2002:360). Faktor yang melatarbelakangi munculnya masalah sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yaitu:
Faktor ekonomis. Problema-problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada jaman modern yang serba canggih.
Faktor biologis. Penyakit baik itu jasmani maupun cacat fisik erupakan contoh masalah sosial yang ersumber dari faktor biologis. Faktor psikologis. dari faktor psikologis muncul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
Faktor kebudayaan. Persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik rasikal dan keagamaan bersumber pada faktor kebudayaan.
Sudah tentu, setiap masalah dapat digolongkan kedalam lebih dari satu kategori. Misalnya, kemiskinan mungkin merupakan akibat berjangkitnya penyakit paru-paru yang merupakan faktor biologis atau sebagai akibat sakit jiwa yang bersumber dari faktor psilogis. Atau, dapat pula bersumber pada faktor kebudayaan, yaitu karena tidak adanya lapangan pekerjaan, dan seterusnya (Soekanto 2002:361).
PEMBAHASAN
KRITIK SOSIAL CERPEN “LARON”
Dalam cepen “Laron” ini kritik social yang terjadi hanya berpa kejahatan. Kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Bapak kepada tokoh IBu dan tokoh Aku. Kejahatan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan dengan kecenderungan untuk melawan norma-norma hukum yang ada. Kejahatan yang perlu mendapatkan perhatian pada saat ini adalah apa yang disebut whitecollour crime, yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya
Dalam cerpen “Laron” banyak sekali terdapat kritik sosial yang berupa kejahatan terhadap anak-anak. Tokoh Bapak yang sering sekali melakukan kejahatan baik berupa kata-kata yang kasar maupun dengan kekerasan fisik terhadap tokoh Aku.
”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting.
Jelas sekali dalam kutipan tersebut, hanya karena laron, tokoh Bapak memaki tokoh Aku dengan kata-kata yang kasar. Tokoh AKu adalah anak kandung tokoh Bapak. Kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Bapak dalam kutipan di atas adalah kejahatan dengan menggunakan kata-kata kasar yang tidak seharusnya diucapkan oleh orang tua yang baik.
Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak.
Kritik sosial berupa kejahatan terhadap anak-anak juga tampak pada kutipan di atas. Tokoh Bapak mendekati tokoh Aku dan menjejalkan nasi kedalam mulut tokoh Aku, tanpa belas kasihan seorang Bapak menyiksa anak kandungnya sendiri dengan menjejalkan nasi ke dalam mulut anaknya.
Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya.
Kutipan tersebut mengambarkan kejahatan yang dilakukan oleh Tokoh Bapak kepada tokoh Ibu. Bapak memarahi ibu yang membela anaknya yang sedang dianiaya oleh Bapaknya, tetai Bapak malah marah kepada Ibu. Kejahatan semacam ini dapat dikatakan sebagai disorganisasi keluarga, yaitu pepecahan diantara anggota keluarga. Ini terjadi antara tokoh Bapak, Ibu dan Aku.
”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis.
Tokoh Bapak lagi-lagi melakukan kejahatan moral kepada anaknya sendiri. Perkataan tokoh Bapak kepada tokoh Ibu sudah jelas maksudnya, bahwa Bapak menginginkan anaknya untuk tinggal di panti asuhan.
Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam.
Kritik sosial berupa kejahatan juga tampak dalam kutipan di atas. Seorang Bapak yang memaki anaknya sedniri dengan sebutan-sebutan idiot, autis, bisu, gagu. Ini jelas bahwa Bapak melakukan tindakan kejahatan berupa kejahatan moral kepada tokoh Aku. Tokoh Aku akan semakin tertekan dengan ucapan-ucapan Bapak.
Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu.
Kejahatan yang dilakukan oleh tokoh Bapak dalam kutipan tersebut adalah tokoh Bapak menyeret telinga tokoh Aku dan membawa ke hadapan tokoh Ibu. Dengan perlakuan seperti itu Bapak telah melakukan tindak kejahatan fisik yang telah dilakukan kepada anak kandungnya.
Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang.
Tokoh Bapak menyiksa tokoh Aku dengan menghujani pipi tokoh AKu dengan tamparan. Kritik social berupa kejahatan fisik telah dilakuakn oleh tokoh Bapak.
Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.
Dalam kutipan di atas kejahatan atau dendam dilakukan oleh tokoh Aku dengan melempar piring ke muka Bapaknya. Karena perlakuan-perlakuan bapaknya selama ini terhadap tokoh Aku.
KAJIAN PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kurniati, Feri. 2005. Skripsi: Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Acuh Tak Acuh
Karya Korrie Layun Rampan. Universitas Negeri Semarang: Semarang.
Kumpulan Cerpen Kompas. 2010. Laron. Kompas