Laman

Minggu, 17 April 2011

KRITIK SOSIAL CERPEN
“KAIN PERCA IBU”
Tugas Ujian Akhir Semester Ganjil

Oleh:
SIGIT GUNAWAN
NIM: 10.062.101.0053

Dosen:
SUTARDI, S.S.,M.Pd.

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCA SARJANA MAGISTER PENDIDIKAN (M.Pd)
UNIVERSITAS DARUL ULUM LAMONGAN
Tahun Akademik 2010/2011

PENDAHULUAN
Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Ahmadi (1997:12) mendefinisikan masalah sosial sebagai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang yang berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan. Soekanto (2002:365-394) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, misalnya:
a. Kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara irinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
b. Kejahatan. Kejahatan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan dengan kecenderungan untuk melawan norma-norma hukum yang ada. Kejahatan yang perlu mendapatkan perhatian pada saat ini adalah apa yang disebut whitecollour crime, yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat dalam menjalankan peran dan fungsinya
c. Disorganisasi keluarga. Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajiban yang sesuai dengan peran sosialnya.
d. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat: yang termasuk ke dalam pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat antara lain;
1) pelacuran, diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan sejumlah uang.
2) delinkuensi anak-anak, sorotan terhadap delinkuensi anak-anak Indonesia terutama tertuju pada pelanggaran yang dilakukan anak-anak muda dari kelas sosial tertentu yang tergabung dalam suatu ikatan atau organisasi baik formal maupun semi formal yang mempunyai tingkah laku yang kurang disukai di masyarakat pada umumnya.
3) alkoholisme, dapat diartikan sebagai gaya hidup membudayakan alkohol.
4) homoseksualitas, adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
e. Masalah kependudukan yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah demografi, antara lain; bagimana menyebarkan penduduk secara merata dan bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran. Kepadatan penduduk yang tidak seimbang merupakan salah satu masalah kependudukan di Indonesia yang belum bisa diatasi sepenuhnya sampai saat ini.
f. Masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup berhubungan dengan hal-hal atau apa-apa yang berada disekitar manusia , baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup. Masalah lingkungan hidup ini dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) lingkungan fisik yaitu semua benda mati yang ada di sekeliling manusia, 2) lingkungan biologis yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup di samping manusia itu sendiri, 3) lingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang secara individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia.
g. Birokrasi. Pengertian birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksaan tugas-tugas administratif.



PEMBAHASAN
KRITIK SOSIAL CERPEN “KAIN PERCA IBU”

Dalam cerpen “Kain Perca Ibu” menyangkut hal yang berbau kenangan tempo silam, wanita memang mahir menjaganya. Sebuah cerpen yang menarik sekali tentang ibu dan wanita. Jadi ingat, sebuah ungkapan lama bahwa hati seorang perempuan itu seluas samudera. Bisa menyimpan apa saja dan justru kasian sama anak anak nya. baju kenangan milik mereka di ambil satu demi satu. Sudah terlanjur terbiasa tidak menyimpan kenangan seperti kata ibu mereka.
Memang kasih ibu sepanjang jalan, sang ibu ingin menunjukkan betapa cinta beliau sangat dalam kepada bapak..?? dan tidak ingin putri-putrinya seperti beliau yang sangat terpukul dengan kematian bapak ketika pada akhirnya ibu meninggal..
Sejarah memang ada yang harus dikenang dan dilupakan, bahkan bisa kita jadikan pelajaran bahwa waktu yang berlalu walau detik yang lalu tidak akan bisa kembali kepada kita lagi. well, nice story kalau untuk mengenang betapa besar peran seorang ibu ketika menyimpan sejuta kenangan yang kadang tak pernah kita sadari sangat penting
Ibu berusaha kuat dan tegar di depan anak-anaknya, tetapi jauh di balik itu, kita baru tahu, dia menyimpannya terlalu dalam. lebih dalam dari kita, bahkan dari yang kita tahu. Ibu, memang selalu memberikan inspirasi.
Cerpen romantik dengan benaman diksi sederhana tanpa metaphor berlebih, dan mengandalkan kekuatan konflik perasaan dengan gaya turur yang sederhana pula. Nuansa yang bisa kita rasakan adalah keterhanyutan dalam cerita bergenre realis ini, meskipun serasa kurang menegangkan, tapi saya mendapat imbalan lain tentang kekuatan emosi yang runtun dan diceritakan secara tak terbata-bata.
Membuat cerita realis seperti ini perlu bedah literatur, karena saya yakin memuat fakta di masa/zaman tertentu, dalam era tertentu, dan situasi tertentu. Menulis genre realis bukan sekedal mengkhayal, namun juga membubuhkan fakta-fakta aktualitas yang koherensinya dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada khalayak pembaca budiman. Bukan tidak mungkin, seandainya tledor mengutip fakta sejarah, maka cerita yang pada dasarnya sudah fiksi akan menjadi fiksi kebohongan, karena catutan sejarah yang tidaklah benar.
Menilisik kembali pada kedalaman cerita, saya menemukan sistematisasi yang bisa membawa pembaca budiman hanyut dan tenggelam ke dalam cerita, terlebih karena pembaca punya tingkat kenangan yang sama hingga bisa dirasakan secara nyata.
Adapun beberapa kontra indikasi yang menimbulkan rasa lembut adalah keberadaan kenangan itu sendiri yang menjadkan haru, merana, tapi tak bisa membuangnya. Dalam ending pun tertulis kontra diksi bahwasanya ibu masih mengenang masa lalunya, meski secara jelas kenangan itu telah terpotong-potong dan disatukan kembali dalam sebuah Kain Perca Ibu.
Adapun kritik social yang terdapat dalam cerpen “Kain Perca Ibu” adalah sebagai berikut:
a. Kemiskinan.
Dalam cerpen “Kain Perca Ibu” kritik kemiskinan terdapat pada kutipan:

Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat perang karena banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di tanah air. Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat Indonesia.

Dalam kutipan di atas jelas bahwa keadaan pada saat itu adalah masa penjajahan dan pemberontakan, militer berkuasa pada saat itu. Ekonomi tokoh Ibu dan Bapak dalam keadaan sulit, miskin, rakyat makan makanan sisa makanan ternak yang berupa bulgar. Kritik kemiskinan juga terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak, mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak.

Kemiskinan tampak dalam kutipan di atas, dimana karena tidak mempunyai uang untuk membeli kain, gorden dijadikan kebaya pengantin. Karena keadaan pada saat itu perang dan perekonomian masih di bawah garis kemiskinan.

b. Birokrasi.
Nilai sosial berupa birokrasi dalan cerpen “Kain Perca Ibu” terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak.

Meskipun saat itu anaknya sedang melakukan pernikahan, bapak yang seorang tentara berangkat juga ke medan perang. Ini dapat diartikan bahwa karena birokrasi yang ada pada saat itu mengharuskan tentang untuk selalu siap siaga melawan pemberontakan.

Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang-pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus anak-anaknya sendiri.

Dari kuitipan di atas, karena birokrasi atau pekerjaan masing-masing. Anak-anaknya melakukan tugas mendampingi ibu sekaligus bekerja dan mengurus anak-anaknya.


Kain Perca Ibu

Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah dengan Bapak. Ibu selalu menyimpan pakaian-pakaian yang memiliki arti begitu mendalam baginya.
Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang. Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami, bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan.
Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih, kami adik-adik perempuannya menatap kagum sekaligus iri. Membayangkan betapa sakralnya riwayat kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak Ratih. Kebaya itu dijahitkan sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah keadaan negeri yang sedang porak-poranda.
Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat perang karena banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di tanah air. Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat Indonesia.
Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak, mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak.
Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat dikenakan oleh Mbak Ratih yang menjadi pengantin. Entah bagaimana cara Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau dulu. Ibu menisik dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan menambahkan manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern.
Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada keturunannya. Bagi kami pun sudah menjadi semacam tradisi yang ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-momen penting bagi keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan semua anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai, Ibu duduk di kursi menceritakan terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru. Lalu kami semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang yang beruntung pada hari itu.
Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama Ibu, Ibu melungsurkan selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh mungil Mbak Ratih ketika pertama kali menghirup udara bebas di barak militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas pemberontakan. Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting dalam kehidupannya.
Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu, kami akan masuk ke kamar masing-masing dengan kepala menunduk, menyimpan tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami belum dianggap istimewa oleh Ibu.
***
Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah berpencar ke kota-kota lain, menikah dan punya anak. Aku merantau ke Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak Ratih pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan keluarganya. Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan Bapak yang berkeras tetap tinggal di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan.
Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan makan ketupat opor buatan Ibu, kami akan berkumpul di ruang tengah. Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih banyak. Karena ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua orang cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari Laras.
Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu siapakah yang dipilih Ibu pada Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi anak-anak kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang mengagumkan. Mungkin di benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar hidup.
Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti menjadi pemenang lotre miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu akan didengung-dengungkan terus di antara keluarga kami. Menjadi topik hangat sampai tiba Lebaran berikutnya.
***
Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu menyerahkan kebaya Kartini berukuran mungil dengan sulaman emas yang cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang kupakai saat perayaan hari Kartini ketika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku diminta oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di sekolah, lalu diajak berkeliling kecamatan bersama pawai sekolah.
Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama tiga puluh tahun kemudian. Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya beludru. Ibu bercerita, beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas yang memanjang dari leher hingga ke ujung bawah kebaya. Kini aku mengerti betapa besarnya cinta Ibu kepadaku.
Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kami, maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai sejarah. Kelak saat anak-anak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu kepada mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur dengan mata uang mana pun.
***
Tradisi itu terhenti ketika suatu pagi Ibu menelepon kami sambil terisak-isak. Hanya menangis. Tidak ada kata-kata yang tercetus dari mulutnya yang penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan segera berangkat ke Magelang dengan pesawat paling pagi.
Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum dekat rumah agar Ibu mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua bekerja, kami sepakat untuk bergantian menjaga Ibu selama masa berkabungnya. Aku mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu melewati kesedihannya ditinggal Bapak. Tapi rupanya kehadiranku seperti tidak nyata di mata Ibu. Ibu yang dulu begitu periang dan senang mengobrol sekarang menjadi pendiam dan sering duduk melamun di beranda. Di sana biasanya Ibu menemani Bapak melewati waktu senja, minum kopi tubruk dan pisang goreng, sambil bernostalgia. Aku memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan dunianya. Aku duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang penting aku bisa memastikan bahwa Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan suatu apa.
Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup tenang. Kami, anak-anak perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah satu dari kami. Ibu boleh memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta. Mbak Ratih yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan hati Ibu. Dari semua anak perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak mendapatkan lungsuran pakaian simpanan Ibu.
Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di Magelang, dengan seorang pembantu. Hidup dengan segala kenangannya tentang Bapak.
***
Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang-pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus anak-anaknya sendiri.
Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami berkompromi bergantian membelikan tiket pesawat untuk Ibu. Dengan begitu Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi anak-anak dan cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu akan sedikit terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat. Terpaksa kami membelikannya karcis kereta api, meskipun khawatir dengan keadaan fisiknya yang mulai renta.
Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali masa-masa pacaran dan bulan madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di peron, dan bepergian naik kereta api.
Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di stasiun. Aku, suamiku, dan putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada ruang kosong di matanya.
Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi melungsurkan pakaian-pakaian lamanya. Kami pun tidak berani mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat yang bernilai baginya tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus bertugas menumpas pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang dijemput Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan Ibu melahirkanku. Dan, semua hal yang dulu terasa patriotik sekarang menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi.
***
Rupanya dalam setahun Ibu menemukan kembali dirinya. Lebaran tahun itu, ketika kami menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah dan mulai bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu. Kami menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan ceritanya, Ibu mengeluarkan sehelai kain lebar, membentangkannya di hadapan kami. Kami terbelalak melihat hamparan kain berisi potongan-potongan kain perca yang disambung dan dijahit menjadi bed cover.
Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja terobek-robek, menjadi potongan-potongan yang tidak bernilai, menjadi seonggok bed cover lebar.
”Kita ndak boleh termakan kenangan,” begitu kata Ibu, tersendat. ”Kita bisa mati merana.”
***
Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu meminta kami mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang masih kami simpan. Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan kami juga, Ibu menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca. Kami yang sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan nilai sejarah, jadi merasa seperti teriris-iris.
Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah dijahit Ibu, dan berubah menjadi bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya menjadi seprai, sarung bantal, taplak meja, yang menawan.
Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu menjadi bermacam-macam hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup galon air mineral. Mbak Ratih malah pernah mengusulkan agar Ibu membuka bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil jahitan kain percanya.
Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami melihat kemeja kerja suamiku yang pertama kali dikenakan ketika naik jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku ketika menghadiri pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh lucu rasanya. Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu.
***
Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu terjatuh di kamar mandi. Aku langsung berangkat naik pesawat dengan jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua anak perempuan Ibu sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang tengah, tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca jahitannya sendiri.
Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan penuh bakti untuk terakhir kali.
***
Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk membereskan barang-barang peninggalan Ibu. Kami melakukannya bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami melangkah masuk ke kamar Ibu dengan air mata tertahan.
Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk pakaian Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi potongan-potongan kain perca.

Jakarta, 7 Desember 2010