1. Pendahuluan
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode tahu cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya.
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupaka rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengerian bahwa pandidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia.
2. Pengertian Landasan Pendidikan
Ada dua istilah yang terlebih dahulu perlu kita kaji dalam rangka memahami pengertian landasan pendidikan, yaitu istilah landasan dan istilah pendidikan.
Landasan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:260) istilah landasan diartikan sebagai alas, dasar, atau tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu hal.
Berdasarkan sifat wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu: (1) landasan yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dsb.
Dari contoh di atas telah ketahui bahwa landasan pendidikan tergolong ke dalam jenis landasan yang bersifat konseptual. Selanjutnya, mari kita kaji lebih lanjut pengertian landasan yang bersifat konseptual tersebut.
Landasan yang bersifat konseptual pada dasarnya identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktek).
Menurut Troy Wilson Organ, “asumsi dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: aksioma, postulat, dan premis tersembunyi” (Redja Mudyahardjo, 1995).
• Aksioma adalah asumsi yang diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian, atau suatu pernyataan yang kebenarannya diterima secara universal. Contoh: “dalam hidupnya manusia tumbuh dan berkembang”. Terhadap pernyataan ini tidak akan ada orang yang menyangkal kebenarannya, sebab kebenarannya dapat diterima secara universal tanpa perlu dibuktikan lagi.
• Postulat yaitu asumsi yang diterima kelompok orang tertentu atas dasar persetujuan. Contoh: “Perkembangan individu ditentukan oleh faktor hereditas maupun oleh factor pengaruh lingkungannya (pengalaman)”.
• Asumsi ini disetujui/diterima benar oleh kelompok orang tertentu, tetapi tentu saja ditolak oleh kelompok orang lainnya yang menyetujui asumsi bahwa perkembangan individu sepenuhnya ditentukan oleh faktor hereditas saja, atau oleh faktor pengaruh lingkungan saja.
• •Premis Tersembunyi yaitu asumsi yang tidak dinyatakan secara tersurat yang diharapkan dipahami atau diterima secara umum. Premis tersembunyi biasanya merupakan premis mayor dan premis minor dalam silogisme yang tidak dinyatakan secara tersurat, dalam hal ini pembaca atau pendengar diharapkan melengkapinya. Contoh: Armin perlu dididik (dinyatakan).
Dalam pernyataan ini terdapat premis tersembunyi yang tidak dinyatakan, yaitu semua manusia perlu dididik (premis mayor), dan Armin adalah manusia (premis minor). Maka kesimpulanya seperti pernyataan di atas adalah Armin perlu dididik.
Secara leksikal, landasan berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual (contoh: landasan pendidikan). Landasan yang bersifat koseptual identik dengan asumsi, adapun asumsi dapat dibedakan menjadi tiga macam asumsi, yaitu aksioma, postulat dan premis tersembunyi.
Pendidikan. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, hakikat pendidikan tiada lain adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Contoh manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan tersebut antara lain: manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, terampil, dst. Sebab itu, pendidikan bersifat normatif dan mesti dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal di atas, pendidikan tidak boleh dilaksanakan secara sembarang, melainkan harus dilaksanakan secara bijaksana. Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, menurut Tatang S (1994) mesti terdapat momen berpikir dan momen bertindak. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu (Redja M; 1994), terdapat momen studi pendidikan dan momen praktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan.
Pendidikan antara lain dapat dipahami dari dua sudut pandang, pertama dari sudut praktek sehingga kita mengenal istilah praktek pendidikan, dan kedua dari sudut studi sehingga kita kenal istilah studi pendidikan. Praktek pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang atau lembaga dalam membantu individu atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan pedidikan. Kegiatan bantuan dalam praktek pendidikan dapat berupa pengelolaan pendidikan (makro maupun mikro), dan dapat berupa kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran dan atau latihan). Studi pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memahami pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
3. Jenis-jenis Landasan Pendidikan
Ada berbagai jenis landasan pendidikan, berdasarkan sumber perolehannya kita dapat mengidentifikasi jenis landasan pendidikan menjadi:
a. Landasan religius pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Landasan religi pendidikan, adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah agama/religi yang dijadikan landasan teori maupun praktek pendidikan, contoh karya Al- Syaibani “Falsafah Pendidikan Islam”, Abdulah Gimnatsiar, dengan Darul A-Tauhidnya melaksanakan system pendidikan Manajemen Qolbu” yang berbasis pada ajaran Al-Qura’n. Landasan lain yang perlu difahami dan fungsinya terhadap pelaksanaan sistem pendidikan adalah landasan yuridis pendidikan.
b. Landasan filosofis pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Ada berbagai aliran filsafat, antara lain: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Pancasila, dsb.
Landasan Filosofis Pendidikan. Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Ada berbagai aliran filsafat, antara lain: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Pancasila, dsb.
Peranan landasan filosofis pendidikan adalah memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana seharusnya pendidikan dilaksanakan. Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah metafisika, epistemology dan aksiologi pendidikan sebagaimana studi dalam filsafat pendidikan. Landasan filosofis pendidikan tidaklah satu melainkan ragam sebagaimana ragamnya aliran filsafat. Sebab itu, dikenal adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, landasan filsofis pendidikan Pragmatisme, dsb. Contoh: Penganut Realisme antara lain berpendapat bahwa “pengetahuan yang benar diperoleh manusia melalui pengalaman dria”. Implikasinya, enganut Realisme mengutamakan metode mengajar yang memberikan kesempatan kepada para siswa untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalaman langsung (misal: melalui observasi, praktikum, dsb.) atau pengalaman tidak langsung (misal: melalui membaca laporan-laporan hasil penelitian, dsb).
Selain tersajikan berdasarkan aliran-alirannya, landasan filosofis pendidikan dapat pula disajikan berdasarkan tema-tema tertentu. Misalnya dalam tema: “Manusia sebagai Animal Educandum” (M.J. Langeveld, 1980), Man and Education” (Frost, Jr., 1957), dll. Demikian pula, aliran-aliran pendidikan yang dipengaruhi oleh filsafat, telah menjadi filsafat pendidikan dan atau menjadi teori pendidikan tertentu. Ada beberapa teori pendidikan yang sampai dewasa ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap praktek pendidikan, misalnya aliran empirisme, naturalisme, nativisme, dan aliran konvergensi dalam pendidikan.
Perlu difahami bahwa yang dijadikan asumsi yang melandasi teori maupun praktek pendidikan, bukan hanya landasan filsafat Pendidikan, tetapi masih ada landasan lain, yaitu landasan ilmiah pendidikan, dan landasan religi pendidikan. Landasan ilmiah pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Sebagaimana Anda ketahui terdapat berbagai disiplin ilmu, seperti: psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, hukum/yuridis, sejarah, biologi, dsb. Sebab itu, ada berbagai jenis landasan ilmiah pendidikan, antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan biologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan, landasan ekonomi pendidikan, landasan politik pendidikan, dan landasan fisiologis pendidikan.
c. Landasan ilmiah pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Tergolong ke dalam landasan ilmiah pendidikan antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan, dsb. Landasan ilmiah pendidikan dikenal pula sebagai landasan empiris pendidikan atau landasan faktual pendidikan.
d. Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Landasan Hukum/Yuridis Pendidikan. Landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Peranan landasan yuridis dalam pendidikan adalah memberikan rambu-rambu tentang bagaimana pelaksanaan system pendidikan dan managemen pendidikan dilaksanakan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6); “Setiap warga Negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34). Implikasinya, Kepala Sekolah Dasar atau panitia penerimaan siswa baru di SD harus memprioritaskan anak-anak (pendaftar) berusia tujuh tahun untuk diterima sebagai siswa daripada anak-anak yang baru mencapai usia enam tahun. Karena itu, panitia penerimaan siswa baru perlu menyusun daftar urut anak (pendaftar) berdasarkan usianya, baru menetapkan batas nomor urut pendaftar yang akan diterima sesuai kapasitas yang dimiliki sekolah.
Landasan Hukum/Yuridis Pendidikan. Landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Peranan landasan yuridis dalam pendidikan adalah memberikan rambu-rambu tentang bagaimana pelaksanaan system pendidikan dan managemen pendidikan dilaksanakan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: Di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6); “Setiap warga Negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar” (Pasal 34). Implikasinya, Kepala Sekolah Dasar atau panitia penerimaan siswa baru di SD harus memprioritaskan anak-anak (pendaftar) berusia tujuh tahun untuk diterima sebagai siswa daripada anak-anak yang baru mencapai usia enam tahun. Karena itu, panitia penerimaan siswa baru perlu menyusun daftar urut anak (pendaftar) berdasarkan usianya, baru menetapkan batas nomor urut pendaftar yang akan diterima sesuai kapasitas yang dimiliki sekolah.
Upaya mengidentifikasi dan mengelompokkan jenis-jenis landasan pendidikan, di samping dapat dilakukan berdasarkan sumbernya (sebagaimana telah Anda pahami dari uraian di atas), dapat pula dilakukan berdasarkan sifat isi dari asumsi-asumsinya. Berdasarkan sifat isi asumsi-asumsinya, landasan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1) landasan deskriptif pendidikan dan 2) landasan preskriptif pendidikan.
Landasan deskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia sebagai sasaran pendidikan apa adanya (Dasein) yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan umumnya bersumber dari hasil riset ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, sebab itu landasan deskriptif pendidikan disebut juga landasan ilmiah pendidikan atau landasan faktual pendidikan. Landasan deskriptif pendidikan mempunyai peran yang sangat besar dalam menyusun konsep dan strategi yang secara langsung dalam pelaksanaan praktek pendidikan secara efisien dan efektif, antara lain meliputi: landasan psikologis pendidikan, landasan biologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, dsb. Adapun landasan preskriptif pendidikan adalah asumsi-asumsi tentang kehidupan manusia yang ideal/diharapkan/dicita-citakan (Das Sollen) yang disarankan menjadi titik tolak studi pendidikan dan/atau praktek pendidikan.
Landasan preskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan filosofis pendidikan, landasan religius pendidikan, dan landasan yuridis pendidikan.
4. Fungsi Landasan Pendidikan
Suatu gedung dapat berdiri tegak dan kuat apabila dinding-dindingnya, atapnya, dsb. didirikan dengan bertumpu pada suatu landasan (fundasi) yang kokoh. Apabila landasannya tidak kokoh, apalagi jika gedung itu didirikan dengan tidak bertumpu pada fundasi atau landasan yang semestinya, maka gedung tersebut tidak akan kuat untuk dapat berdiri tegak. Mungkin gedung itu miring dan retak-retak, sehingga akhirnya runtuh dan berantakan. Demikian pula pendidikan, pendidikan yang diselenggarakan dengan suatu landasan yang kokoh, maka prakteknya akan mantap, benar dan baik, relative tidak akan terjadi kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan, sehingga praktek pendidikan menjadi efisien, efektif, dan relevan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan pembangunan.
Contoh: Dalam praktek pendidikan, para guru antara lain dituntut agar melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu, para guru idealnya memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya guru tertentu berbuat “seperti” melaksanakan peranan sesuai semboyan tut wuri handayani, namun perbuatan itu tidak akan disadarinya sebagai perbuatan untuk tut wuri handayani bagi para siswanya. Bahkan kemungkinan perbuatan guru tersebut akan lebih sering bertentangan dengan semboyan tersebut. Misalnya: guru kurang menghargai bakat masing-masing siswa; semua siswa dipandang sama, tidak memiliki perbedaan individual; guru lebih sering mengatur apa yang harus diperbuat siswa dalam rangka belajar, guru tidak menghargai kebebasan siswa; dll. Guru berperan sebagai penentu perkembangan pribadi siswa, guru berperan sebagai pembentuk prestasi siswa, guru berperan sebagai pembentuk untuk menjadi siapa para siswanya di kemudian hari.
Dalam contoh ini, semboyan tinggal hanya sebagai seboyan. Sekalipun guru hapal betul semboyan tersebut, tetapi jika asumsi-asumsinya tidak dipahami dan tidak diyakini, maka perbuatan dalam praktek pendidikannya tetap tidak bertitik tolak pada semboyan tadi, tidak mantap, terjadi kesalahan, sehingga tidak efisien dan tidak efektif. Sebaliknya, jika guru memahami dan meyakini asumsi-asumsi dari semboyan tut wuri handayani (yaitu: kodrat alam dan kebebasan siswa), maka ia akan dengan sadar dan mantap melaksanakan peranannya. Dalam hal ini ia akan relatif tidak melakukan kesalahan. Misalnya: guru akan menghargai dan mempertimbangkan bakat setiap siswa dalam rangka belajar, sekalipun para siswa memiliki kesamaan, tetapi guru juga menghargai individualitas setiap siswa. Guru akan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengatur diri mereka sendiri dalam rangka belajar, guru menghargai kebebasan siswa.
Guru membimbing para siswa dalam rangka belajar sesuai dengan kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-masing, dll. Pendek kata, dengan bertitik tolak pada asumsi kodrat alam dan kebebasan yang dimiliki setiap siswa, maka perbuatan guru dalam praktek pendidikannya bukan untuk membentuk prestasi belajar tanpa mempertimbangkan bakat atau kecepatan dan kapasitas belajar masing-masing siswa; bukan untuk membentuk siswa agar menjadi siapa mereka nantinya sesuai kehendak guru belaka; melainkan membimbing para siswa dalam belajar sehingga mencapai prestasi optimal sesuai dengan bakat, minat, kecepatan dan kapasitas belajarnya masing-masing; memberikan kesempatan/kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan kodrat alamnya masing-masing melalui interaksi dengan lingkungannya, dan berdasarkan sistem nilai tertentu demi terwujudnya tertib hidupnya sendiri dan tertibnya hidup bersama. Guru hanya akan “mengatur” atau mengarahkan siswa ketika siswa melakukan kesalahan atau salah arah dalam rangka belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan berfungsi sebagai itik tolak atau tumpuan bagi para guru dalam melaksanakan praktek pendidikan. Ada berbagai jenis landasan pendidikan yang perlu kita kaji, antara jenis landasan pendidikan yang satu dengan jenis landasan pendidikan yang lainnya akan saling melengkapi. Dalam rangka mempelajari landasan pendidikan, akan ditemukan berbagai asumsi yang mungkin dapat kita sepakati. Di samping itu, mungkin pula ditemukan berbagai asumsi yang tidak dapat kita sepakati karena bertentangan dengan keyakinan atau pendapat yang telah kita anut.
Namun demikian, hal yang terakhir ini hendaknya tidak menjadi alasan sehingga kita tidak mau mempelajarinya. Sebab semua itu justru akan memperluas dan memperjelas wawasan kependidikan kita. Hanya saja kita mesti pandai memilah dan memilih mana yang harus ditolak dan mana yang seharusnya diterima serta kita anut. Ini adalah salah satu peranan pelaku studi landasan pendidikan, yaitu membangun landasan kependidikannya sendiri. Landasan pendidikan yang dianut itulah yang akan berfungsi sebagai titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan/atau studi pendidikan lebih lanjut.
5. Esensi Pendidikan
Bagi setiap orang terutama guru atau orangtua pasti memiliki opini tersendiri tentang apa sebenarnya esensi pendidikan itu. Bagi saya pendidikan adalah sebuah upaya untuk mentransfer ilmu dari seseorang kepada orang lain. Tak cukup hanya mentransfer ilmu semata, tetapi juga upaya untuk mentransfer nilai-nilai moralitas dan akhlak yang baik dari pendidik kepada yang dididik. Dari guru kepada murid dan juga terkadang dari murid kepada guru.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa esensi dari pendidikan adalah sangat berkaitan dengan sikap seorang guru dalam menghayati dan menjalankan profesinya. Bagi beberapa guru kegiatan mengajar mungkin dilakukan dengan setengah hati, kering, garing, hanya mengisi absen hadir, tanda tangan, memberi catatan, menjelaskan sebentar, menugaskan siswa, lantas pulang. Beberapa terus mengeluhkan betapa kecilnya gaji guru yang begitu- begitu saja dan terus asyik mengobrol dengan rekan sekerja sampai bel tanda pulang berbunyi, siswa dengan asyik mengobrol juga karena guru tak jadi masuk memberikan pelajaran. Banyak pula yang dengan begitu bersemangat menjejali siswa dengan begitu banyak materi dan metode yang kata mereka baik.
Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi fenomene dan indikasi tersebut antara lain :
Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali dosen yang hanya tamatan S1.
Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode dan seni tersendiri.
Indikasi lain dari gejala di atas adalah minimnya karya ilmiyah yang dihasilkan oleh para sarjana Indonesia. Contoh sederhana adalah masih jarangnya karya tulis dari penulis-penulis Indonesia. Yang ramai memenuhi pasar adalah buku-buku terjemahan, baik dari bahasa Arab, Inggris maupun bahasa lainnya. Kalaupun ada karya tulis dari penulis-penulis terkenal Indonesia, namun belum mampu menjadi rujukan di kawasan Asia tenggara apalagi untuk level Internasional. Coba kita bandingkan dengan karya Buya Hamka, tafsir Al Azhar yang menjadi rujukan bagi kebanyakan negara asia tenggara.
Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan sebagai gejala. Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita sudah terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari tawuran tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama, persaingan cinta (pacaran), kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya.
Kita tidak memungkiri adanya faktor eksternal yang sangat kuat yang menyebabkan kondisi ini. Tapi minimal ini merupakan indikator yang sangat nyata betapa jeleknya kondisi internal mereka (baca pendidikan dengan segala isinya). Karena apa yang mereka pelajari dan siapa yang mengajari mereka sudah tidak mampu lagi memberikan imunitas kepada mereka dari bahaya- bahaya luar. Sehingga ketika mereka dirasuki oleh racun-racun eksternal mereka
Dalam konsep pendidikan sepanjang hayat ini akan dikemukakan secara rinci karena mendasari arah baru dunia pendidikan. Ide dan konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) atau pendidikan seumur hidup secara operasional serin pula disebut “Pendidikan Sepanjang Raga” bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai konsep yang lebih ilmiah dan sekaligus sebagai gerakan global yang merembah keberbagai zman Nabi Muhammad SAW. 14 abad yang lampau, ide dan konsep tlah disiarkannya dalam bentuk suatu imbauan ; “Tuntutlah Ilmu sejak di Buaian hingga ke liang lahat. Dalam kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu sudah dapat dilihat bahwa pada hakikatnya orang belajar sepnjang hidup, meskipun dengan cara yang berbeda dan melalui proses yang tidak sama. Pendeknya tidak ada batas usia yang menunjukkan tidak mungkinnya dan tidak dapatnya orang belajar. Jika seorang petani berusaha mencari tahu mengenai cara-cara terbaru megenai bercocok tanam pemberantasan hama, dan pemasaran hasil yang lebuh menguntungkanitu adalah pertanda bahwa belajar itu tidak dibatasi oleh usia. Dorongan belajar sepanjang hayat itu terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Sepajang hidupnya manusia memang tidak pernah merasa berada dalam suatu vakum. Mereka dituntut untuk mampu mnyesuaikan diri secara aktif, dinamis, kreatif, dan inofatif terhadap diri dan kemajuan zaman.
6. Kesimpulan
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode tahu cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya.
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia belajar berarti merupaka rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Landasan preskriptif pendidikan antara lain meliputi: landasan filosofis pendidikan, landasan religius pendidikan, dan landasan yuridis pendidikan. Asumsi atau landasan pendidikan akan berfungsi sebagai itik tolak atau tumpuan bagi para guru dalam melaksanakan praktek pendidikan.
Esensi dari pendidikan adalah sangat berkaitan dengan sikap seorang guru dalam menghayati dan menjalankan profesinya.
Daftar Rujuakan
Mudyahardjo, R. (1995), Filsafat Pendidikan (Sebuah Studi Akademik) Bagian I Orientasi Umum: Landasan Filosofis Pendidikan dan Filsafat Pendidikan sebagai Suatu teori Pendidikan, Jurusan Filsafat Dan sosiologi Pendidikan, FIP, IKIP Bandung.
Syahrun, Syahmiar. 1991. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
Tirtarahardja Umar & S. L. La Silo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.